Bagi temen-temen yg butuh jasa ketik yg lagi nyusun skripsi/tugas. Saya menerima jasa ketik Rp. 1500 per lembar yupsss hubungi Wa 081343990326
Hany Dwi
Rabu, 10 Januari 2018
Minggu, 01 Oktober 2017
KTI HUBUNGAN KARAKTERISTIK WANITA USIA SUBUR DENGAN KEJADIAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL DI PUSKESMAS KATAPANG KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2016
HUBUNGAN KARAKTERISTIK WANITA USIA SUBUR
DENGAN KEJADIAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL DI PUSKESMAS KATAPANG KABUPATEN BANDUNG
TAHUN 2016
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Ahli Madya Kebidanan
Oleh :
HANI DWI DAYATI
NPM : 2114032
PROGRAM STUDI DIII
KEBIDANAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RAJAWALI
BANDUNG
2017
Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Rajawali Bandung
Program
Studi DIII Kebidanan
2017
ABSTRAK
HUBUNGAN KARAKTERISTIK WANITA USIA SUBUR
DENGAN KEJADIAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL DI PUSKESMAS KATAPANG KABUPATEN BANDUNG
TAHUN 2016
Dayati,
H D., Karlina, I., Mufti, I R.
Kasus
IMS di Jawa Barat pada tahun 2012 Infeksi Menular Seksual mencapai 5.511 kasus.
IMS yang telah terjadi pada perempuan yang sudah kawin disebabkan karena suami
yang suka beroganta-ganti pasangan, tingkat pendidikan mempengaruhi responden
dalam mengambil keputusan untuk melakukan hubungan seksual yang aman atau
berisiko. Golongan yang dilaporkan beresiko terkena IMS yaitu pelajar dan
mahasiswa, supir truk, pegawai hotel, pramuria dan PSK, angka kegagalan yang
tinggi saat tes laboratorium menunjukan kondom tidak memberikan perlindungan
100% terhadap IMS.
Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui hubungan Karakteristik pada Wanita Usia Subur dengan Kejadian
Infeksi Menular Seksual di Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016.
Penelitian ini menggunakan
pendekatan analitik dengan desain Cross
Sectional. Sampel penelitian ini sebesar 228 WUS. Penelitian ini
menggunakan data sekunder dengan lembar cheklist.
Analisis yang dilakukan univariat dan bivariat dengan menggunakan chi-square.
Hasil distribusi frekuensi atau
univariat yang kejadian IMS bahwa sebagian besar Wanita Usia Subur terkena Infeksi
Menular Seksual sebesar 59,6%. Hasil bivariat status perkawinan dengan kejadian
IMS r value = 0,000. Pendidikan
dengan kejadian IMS r value = 0,001, pekerjaan
dengan kejadian IMS r value = 0,000, pemakaian
kondom dengan kejadian IMS r value = 0,000.
Simpulan terdapat hubungan
antara Karakteristik pada Wanita Usia Subur dengan Kejadian Infeksi
Menular Seksual di Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016.
Kata Kunci : Infeksi Menular Seksual,
Karakteristik Wanita Usia Subur
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur
penelitiucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan Berkah, Rahmat dan
Karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah mengenai “Hubungan Karakteristik
Wanita Usia Subur Dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual Di Puskesmas Katapang
Kabupaten Bandung Tahun 2016” ini
tepat pada waktunya. Penelitian ini disusun sebagai salah satu
persyaratan untuk memenuhi syarat tugas akhir Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Rajawali Bandung.
Tidak sedikit
rintangan yang penulis hadapi dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, baik
dalam teknik penulisan maupun dalam pengumpulan dan pengolahan bahan. Berkat
dorongan dan bantuan dari segala pihak, akhirnya penulis dapat mengatasi
berbagai kesulitan tersebut. Peneliti banyak mendapatkan pengarahan dari
berbagai pihak, untuk itu dalam
kesempatan ini peneliti mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1.
Tonika
Tohri, S.Kp., M.Kes. Selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Rajawali
Bandung dan penguji Karya Tulis
Ilmiah.
2.
Erni
Hernawati., S.S.T., M.M., M.Keb. Selaku Ketua Program Studi Kebidanan Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Rajawali Bandung
3.
Intan
Karlina., S.S.T., M.Keb. Selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan banyak
masukan dan arahan dalam penyusunan Kaya Tulis Ilmiah ini.
4. Iga
Retia Mufti., S.S.T., M.Kes. Selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan banyak masukan dan arahan
dalam penyusunan Kaya Tulis Ilmiah ini.
5. Moh
Rahmat Syah Nast. SKM, M.Si. Selaku Kepala Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung.
6.
Seluruh dosen Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Rajawali Bandung yang telah membekali ilmu sebagai bekal pelaksanaan
melakukan penelitian.
7.
Kepada
Keluarga khususnya kepada orang tua yang
telah memberikan semangat, doa dan dukungannya.
8.
Mahasiswa
DIII Kebidanan STIKes Rajawali Bandung angkatan tahun 2014 beserta sahabat atas
motivasi dan kebersamaan dalam perjuangan ini.
Peneliti menyadari bahwa penulisan karya tulis ilmiah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, penulis harapkan kritik dan saran dari semua
pihak sebagai pembelajaran untuk dapat menjadi lebih baik lagi. Peneliti mengucapkan terimakasih kepada
teman-teman yang telah memberikan saran dan pengetahuannya serta kepada
responden yang telah membantu dalam kelancaran penelitian ini.
Bandung, Agustus 2017
Peneliti
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ................................................................... 1
1.2
Identifikasi Masalah ........................................................... 5
1.3
Rumusan Masalah ............................................................... 7
1.4
Tujuan ................................................................................. 7
1.5
Hipotesis ............................................................................. 8
1.6
Manfaat .............................................................................. 8
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1
Penyakit Menular Seksual ...................................................... 10
2.1.1
Pengertian .................................................................... 10
2.1.2
Jenis-jenis IMS.............................................................. 10
2.1.3
Gambar penyebab IMS ................................................ 19
2.1.4
Kelompok Perilaku Risiko Tinggi ................................ 21
2.1.5
Komplikasi IMS ........................................................... 21
2.1.6
Gejala-gejala IMS ........................................................ 22
2.1.7
Penatalaksanaan IMS ................................................... 23
2.1.8
Cara Penularan IMS .................................................... 27
2.1.9
Pencegahan IMS .......................................................... 28
2.2
WUS ...................................................................................... 29
2.3
Karakteristik .......................................................................... 29
2.4
Peran Bidan dalam Mengatasi IMS ....................................... 33
2.5
Kerangka Teori ...................................................................... 35
2.6
Upaya Menurunkan IMS di Puskesmas Katapang ................ 36
BAB
III Metode Penelitian
3.1
Rancangan Penelitian ............................................................. 37
3.2
Kerangka Penelitian ............................................................... 37
3.3
Variabel Penelitian ................................................................. 38
3.4
Definisi Operasional Variabel ................................................ 38
3.5
Populasi Penelitian.................................................................. 41
3.6
Sampel Penelitian ................................................................... 41
3.6.1
Kriteria Sampel ............................................................ 42
3.7
Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 42
.
3.7.1 Pengumpulan Data ....................................................... 42
.
3.7.2 Pengolahan Data ........................................................... 42
3.8
Analisa Data .......................................................................... 43
3.8.1
Analisa Univariat ......................................................... 43
3.8.2
Analisa Bivariat ........................................................... 44
3.8.3
Hipotesa ....................................................................... 45
3.9
Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 45
BAB IV PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
4.1
Hasil Penelitian ...................................................................... 46
...... 4.1.1 Analisa Univariat ......................................................... 46
...... 4.1.2 Analisa Bivariat ........................................................... 48
4.2
Pembahasan ........................................................................... 50
...... 4.2.1 Kejadian Infeksi Menular
Seksual................................ 50
...... 4.2.2 Status Perkawinan pada WUS
dengan Kejadian IMS 53
...... 4.2.3 Pendidikan pada WUS dengan
Kejadian IMS............. 54
...... 4.2.4 Pekerjaan pada WUS dengan
Kejadian IMS............... 55
...... 4.2.5 Pemakaian Kondom pada WUS
dengan Kejadian IMS56
BAB V SIMPULAN DAN
SARAN
5.1
Simpulan ................................................................................ 59
5.2
Saran ...................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA................................................................
LAMPIRAN................................................................................
DAFTAR TABEL
Tabel
3.1 Definisi Operasional Variabel............................................................... 40
Tabel
3.2 Analisis Data Presentase....................................................................... 44
Tabel
4.1 Distribusi Frekuensi Kejadian IMS...................................................... 46
Tabel
4.2 Distribusi Frekuensi Status Pernikahan................................................ 47
Tabel
4.3 Distribusi Frekuensi Pendidikan .......................................................... 47
Tabel
4.4 Distribusi Frekuensi Pekerjaan.............................................................. 47
Tabel
4.5 Distribusi Frekuensi Pemakaian Kondom ............................................ 48
Tabel
4.6 Hubungan Status Perkawinan dengan Kejadian IMS.......................... 48
Tabel
4.7 Hubungan Pendidikan dengan Kejadian IMS ..................................... 49
Tabel
4.8 Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian IMS........................................ 49
Tabel
4.9 Hubungan Pemakaian Kondom dengan Kejadian IMS ...................... 50
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : POA (Planning
Of Action) Karya Tulis Ilmiah
Lampiran 2 : Lembar Kegiatan Bimbingan Tugas Akhir
Lampiran 3 : Surat Izin Penelitian
Lampiran 4 : Instrumen Penelitian
Lampiran 5 : Data Hasil Penelitian
Lampiran 6 : Pengolahan Data Hasil Penelitian
Lampiran 7 : Daftar
Riwayat Hidup
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
WHO (World Health Organization)
memperkirakan tahun 1999 terdapat 340 juta kasus baru IMS (Infeksi Menular
Seksual) (gonore, infeksi Chlamydia,
sifilis dan trikomoniasis) baru setiap tahunnya pada laki-laki dan perempuan
usia 15-49 tahun, sedangkan jumlah infeksi (Human
Immunodificiency Virus) HIV saat ini lebih dari 33,6 juta kasus. Data-data
insiden setiap daerah sangat bervariasi, sebagian kemungkinan dipengaruhi oleh
keterbatasan data. Keterbatasan data tentang insidens dan distribusi IMS
tersebut disebabkan oleh beberapa hal, misalnya tidak semua IMS dilaporkan,
atau meskipun dilaporkan sering kali data tersebut tidak lengkap. Data-data IMS
di negera berkembang umumnya diambil dari data klinik sehingga kurang tepat
bila dipakai sebagai indikator permasalahan kesehatan dalam masyarakat.
Keterbatasan dana sarana untuk melakukan survei pada masyarakat merupakan
kendala utama (Daili, 2014).
Kesehatan reproduksi suatu keadaan kesehatan yang sempurna baik secara
fisik, mental dan sosial dan bukan semata-mata terbebas dari penyakit atau
kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi fungsi
serta prosesnya. Kesehatan reproduksi dipengaruhi oleh kehamilan, aborsi,
Infeksi Menular Seksual (IMS), kekerasan seksual dan oleh sistem yang membatasi
akses terhadap informasi dan pelayanan klinis (Purwoastuti, 2015).
Di Indonesia, infeksi menular seksual yang paling banyak adalah
ditemukan adalah syphlis dan gonorrhea. Prevalensi infeksi menular
seksual di Indonesia sangat tinggi ditemukan di kota Bandung, yakni dengan
prevalensi infeksi gonorrhea sebanyak
37,4%, chlamydia 34,5%, dan syphilis 25,2% . Di kota Surabaya
prevalensi infeksi chlamydia 33,7%, syphilis 28,8% dan gonorrhea 19,8%, sedangkan di Jakarta prevalensi infeksi gonorrhea 29,8% , syphilis 25,2% dan chlamydia 22,7%. Di Medan, kejadian syphilis terus meningkat setiap tahun.
Peningkatan penyakit ini terbukti sejak tahun 2003 meningkat 15,4% sedangkan
pada tahun 2004 terus menunjukkan peningkatan menjadi 18,9%, sementara pada
tahun 2005 meningkat menjadi 22,1%. Setiap orang bisa tertular penyakir menular
seksual. Kecenderungan kian meningkatnya penyebaran penyakit ini disebabkan
perilaku seksual yang berganti-ganti pasangan, dan adanya hubungan sesksual
pranikah dan diluar nikah yang cukup tinggi. Kebanyakan penderita penyakit
menular seksual adalah remaja usia 15-29 tahun, tetapi ada juga yang tertular
karena tertular dari ibunya (Lestari, 2014).
Kasus IMS di Jawa Barat pada tahun 2012 sebanyak 7981 kasus, dimana
diantaranya diketahui bahwa kasus HIV 1.904 kasus, AIDS terdapat 494 kasus.
Jumlah kematian akibat AIDS 72 kasus dan Penyakit Menular Seksual lainnya
mencapai 5.511 kasus (Suhendar, 2012).
Kota
Bandung merupakan merupakan kota besar yang berpendudukan sangat heterogen yang
merupakan juga kota jasa dan kota wisata sehingga menjadi objek kunjungan
penduduk dari penjuru Indonesia yang berdampak
pada kehidupan sosial warganya. Oleh karenanya, kota Bandung tidak lepas
dari permasalahan penyebaran penyakit menular seksual. Perkembangan penyakit
menular seksual di kota Bandung pada tahun 2008 terdapat 1.336 kasus. Terjadi
penurunan angka kejadian PMS pada tahun 2010 yaitu sebanyak 1.115 kasus.
Penyakit menular seksual dikota Bandung 2011 terdapat 1.278 kasus dan semuanya
telah ditangani. Meski demikian, bila dibandingkan dengan tahun lalu, terjadi
peningkatan jumlah kasus dari 1.115 kasus (Raksanegara,
2012).
Peningkatan
insidens IMS
tidak terlepas dari kaitannya dengan perilaku risiko tinggi. Penelitian
menunjukan bahwa penderitas sifilis melakukan seks rata-rata sebanyak 5
pasangan seksual yang tidak diketahui asal usulnya, sedangkan penderita gonore
melakukan hubungan seks dengan rata-rata 4 pasangan seksual. Demikian juga
halnya antara IMS dengan pecandu narkotik, terlihat bahwa 28% penderita sifilis
dan 73% penderita gonore melakukan hubungan promiskuiti (berganti-ganti
pasangan) karena ketagihan narkotik. Riwayat promiskuiti atau berganti-ganti
pasangan seksual juga ditunjukkan dari data penderita seropositif sifilis yang
mempunyai pasangan seksual lebih dari 2 orang, sedangkan yang seronegatif hanya
1 orang atau tidak pernah hubungan seksual (Daili, 2014).
Perilaku
seksual yang membuat pelakunya memiliki risiko tinggi tertular IMS antara lain
melakukan hubungan seks dengan pekerja seks komersil, melakukan hubungan seks
dengan banyak pasangan heteroseksual, melakukan hubungan seks dengan sesama
pria (homoseksual dengan intercourse anal), melakukan hubungan seks dengan
pasangan baru tanpa pelindung (kondom), melakukan hubungan seks heteroseksual
dengan cara anal dan tanpa oral pelindung (Verawaty, 2012).
Alasan
utama perempuan lebih rentan tertular IMS dibandingkan laki-laki adalah saat
berhubungan seks, dinding vagina dan leher rahim langsung terpapar oleh cairan
sperma. Jika sperma terinfeksi oleh IMS, maka perempuan tersebut pun bisa
terinfeksi. Jika perempuan terinfeksi IMS, dia tidak selalu menunjukan gejala.
Tidak munculnya gejala dapat menyebabkan infeksi meluas dan menimbulkan
komplikasi (Setiyaningrum, 2015).
Kelompok
usia 15-30 tahun berisiko terjangkit penyakit menular seksual karena golongan
usia ini merupakan masa yang aktif dalam kegiatan seksual (Lestari, 2014). Faktor-faktor
risiko yang mempengaruhi adalah kejadian IMS menurut Setiyaningrum beberapa
penyakit menular seksual yang sering ditemukan di Indonesia antara lain:
disebabkan oleh bakteri (Gonore, Sifilis,
Uretritis, Vaginosis bakterial), disebabkan oleh virus (AIDS, Herpes genetalis, Hepatitis B, Kondiloma
akuminata), disebabkan oleh jamur (Kandida
vaginosis), disebabkan oleh parasit (Scabies,
Pedikulosis pubis)
Faktor
lainnya adalah karakteristik status perkawinan menurut Lestari (2014) status
perkawinan memengaruhi epidemiologi IMS. Insiden IMS berisiko lebih tinggi pada
orang yang belum menikah daripada sudah menikah. Selain itu, orang bercerai
atau terpisah dari keluarga juga berisiko tinggi.
Faktor
IMS yaitu pendidikan sebagai contohnya, 37-40% wanita umur 18-24 tahun dengan
pendidikan tidak tamat SD dan tamat SD telah berhubungan seks 18 tahun
dibandingkan 26% atau lebih rendah pada wanita yang berpendidikan tidak tamat
SMTA atau lebih tinggi pendidikannya
(Suhendar, 2012).
Faktor
lainnya menurut Siboulet ada 5 golongan yang dilaporkan berisiko terkena IMS
yaitu pelajar dan mahasiswa, supir truk, pegawai hotel, pramuria dan PSK,
kelompok usia dibawah 19 tahun dan turis (Lestari,
2014).
Faktor pemakaian kondom menurut Muda (2014)
pemakaian kondom pada kelompok risiko merupakan isu penting dalam kebijakan
penanggulangan IMS. Penggunaan kondom yang tidak konsistensi merupakan faktor
risiko untuk terjadinya infeksi menular seksual sebesar 1,8 lebih (Arifin,
2012). Data yang dilaporkan di klinik IMS, menunjukan bahwa 85% dari pelaku
seksual atau kelompok yang berisiko, tidak menggunkan kondom setiap kali
melakukan hubungan seksual dengan berbagai alasan tertentu, sehingga hal ini
dapat meningkatkan risiko penularan IMS.
Berbagai upaya yang telah dilakukan yaitu, menggalang dan meningkatkan
komitmen politis Kepala Wilayah/Daerah dan tokoh masyarakat terhadap pencegahan
IMS dan penanggulangan HIV/AIDS melalui peningkatan kesehatan keluarga,
menumbuhkan kesadaran dan kewaspadaan dini terhadap keluarga-keluarga yang
berisiko tinggi IMS dan HIV/AIDS dengan cara persuasif dan memperhatikan sopan
santun dan norma-norma yang berlaku di masyarakat, melakukan monitoring dan
evaluasi terhadap operasional pelaksanaan program kegiatan KIE pencegahan IMS
dan HIV/AIDS (BKKBN, 2011).
Menurut
data yang diperoleh dan hasil penelitian awal di Puskesmas Katapang jumlah IMS
pada tahun 2015 berjumlah 205 wanita usia subur dan kejadian pada IMS pada wanita
usia subur pada tahun 2015 sebanyak 122 (59,5%). Sedangkan pada tahun 2016
angka kejadian IMS pada wanita usia subur di Puskesmas Katapang mengalami
peningkatan yaitu 136 (59,6%) dari 228 seluruh wanita usia subur. Pusksesmas
Katapang adalah Puskesmas rujukan dan telah memiliki laboratorium sendiri untuk
menentukan diagnosa IMS, wilayah parawisata menyebabkan kejadian IMS ini
meningkat (Data Rekam Medik Puskesmas Katapang).
Setelah
dilakukan studi pendahuluan, didapat 20 responden yang terkena penyakit IMS, 5
orang mengatakan tahu tentang IMS, 3 orang mengatakan mengetahui bagaimana cara
penularan IMS, 6 orang tahu bagaimana pencegahan IMS, 11 orang memakai kondom
ketika berhubungan seksual dan dari hasil wawancara kepada petugas untuk
menurunkan IMS “Ada banyak programnya
antara lain layanan rutin IMS di puskesmas Katapang, layanan skrining IMS,
diagnosis secara sindrom/laboratorium sederhana, penyediaan obat IMS”.
Berdasarkan
beberapa pernyataan yang telah diuraikan di atas, maka peneliti pada kesempatan
ini akan melakukan suatu penelitian mengenai “Hubungan Karakteristik Wanita Usia Subur dengan Kejadian Infeksi
Menular Seksual di Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016”.
1.2 Identifikasi Masalah
Peningkatan insidens IMS tidak terlepas dari kaitannya dengan perilaku
risiko tinggi. Penelitian menunjukan bahwa penderitas sifilis melakukan seks
rata-rata sebanyak 5 pasangan seksual yang tidak diketahui asal usulnya, sedangkan
penderita gonore melakukan hubungan seks dengan rata-rata 4 pasangan seksual.
Masalah yang dapat terjadi pada penyakit menular seksual penyebab infeksi organ
wanita adalah Trikomoniasis, Vaginosis
bakterial, Kandidiasis vulvovaginitis, Gonore, Klamida, Sifilis, Ulkus mole,
Herpes genital, Genital warts, AIDS.
Menurut
penelitian Muda (2013) dari hasil uji Fisher
diperoleh nilai p = 0,001 (<0,05).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
status perkawinan dengan kejadian IMS. Setelah dikaji lebih dalam penderita,
IMS terjadi karena pada seseorang yang tidak kawin baik laki-laki maupun
perempuan kebutuhan akan seksual lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang
yang sudah kawin, sehingga perilaku seks yang tidak aman dengan pasangan yang
berisiko menularkan IMS dapat menjadi sumber terinfeksinya IMS pada diri
seseorang yang tidak kawin.
Berdasarkan hubungan Pendidikan Klien dengan penyakit menular seksual
di Wilayah Kerja Puskesmas Penurunan Kota Bengkulu Tahun 2014 diatas
menunjukkan hasil tabulasi silang antara pendidikan dengan penyakit menular
seksual. Didapatkan dari 10 (19,6%) orang responden berpendidikan tinggi,
sebagian kecil responden 2 (3,9%) terdiagnosis negatif PMS dan klien yang
berpendidikan dasar terdapat 41 (80,4%) orang responden, semua terdiagnosis
positif PMS. Sedangkan dilihat dari hasil uji Continuity Correction
didapatkan nilai x²=33.089 dengan p=0,000<0,05 yang berarti bahwa adanya
hubungan yang bermakna antara pendidikan klien dengan penyakit menular seksual.
Menurut penelitian Sarwinanti (2013) analisis hubungan antara pekerjaan
dengan kejadian IMS dengan uji statistik chi
square didapatkan hasil p> 0,05 (p
value = 0,672), hal tersebut menunjukan bahwa pekerjaan tidak berhubungan
dengan kejadian IMS. Seseorang yang bekerja memiliki risiko yang sama dengan
seseorang yang tidak bekerja untuk dapat mengalami IMS. Artinya seseorang tidak
bekerja tidak akan lebih berisiko untuk terkena IMS, begitu juga dengan
sebaliknya. Hal ini mungkin disebabkan karena dimungkinkan dengan jumlah
responden yang sedikit akan mempengaruhi hasil sehingga pekerjaan tidak
berhubungan dengan kejadian IMS.
Menurut
penelitian Muda (2013) dari hasil uji Fisher
diperoleh nilai p = 0,009
(<0,05). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara tindakan pemakaian kondom dengan kejadian IMS. Berdasaran
kajian yang lebih dalam dengan penderita, didapatkan bahwa sebagian besar dari
kelompok berisiko tidak ingin menggunakan kondom. Antara lain karena kondom
membuat seks menjadi kurang spontan dan yang sudah menikah. Dari hasil
penelitian ini juga menunjukkan bahwa, IMS tidak hanya terjadi pada seseorang
dengan tindakan pemakaian kondom yang kurang, akan tetapi dapat juga terjadi
pada seseorang dengan tindakan pemakaian kondom yang baik. Hal ini dapat
terjadi karena cara pemakaian kondom yang tidak benar, kondom rusak/bocor, penggunaan
kondom secara berulang dan menggunakan kondom melewati masa kadaluarsa.
Menurut
data yang diperoleh dan hasil penelitian awal di Puskesmas Katapang jumlah IMS
pada tahun 2015 berjumlah 205 wanita usia subur dan kejadian pada IMS pada
wanita usia subur pada tahun 2015 sebanyak 122 (59,5%). Sedangkan pada tahun
2016 angka kejadian IMS pada wanita usia subur di Puskesmas Katapang mengalami
peningkatan yaitu 136 (59,6%) dari 228 seluruh wanita usia subur. Pusksesmas
Katapang adalah Puskesmas rujukan dan telah memiliki laboratorium sendiri untuk
menentukan diagnosa IMS, wilayah parawisata menyebabkan kejadian IMS ini
meningkat (Data Rekam Medik Puskesmas Katapang).
Setelah
dilakukan studi pendahuluan, didapat 20 responden yang terkena penyakit IMS, 5
orang mengatakan tahu tentang IMS, 3 orang mengatakan mengetahui bagaimana cara
penularan IMS, 6 orang tahu bagaimana pencegahan IMS, 11 orang memakai kondom
ketika berhubungan seksual dan dari hasil wawancara kepada petugas untuk
menurunkan IMS “Ada banyak programnya
antara lain layanan rutin IMS di puskesmas Katapang, layanan skrining IMS,
diagnosis secara sindrom/laboratorium sederhana, penyediaan obat IMS”.
1.3 Rumusan Masalah
Rumusan
masalah berdasarkan latar belakang di atas adalah “Apakah terdapat hubungan
Karakteristik pada Wanita Usia Subur dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual di
Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016?”
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui
Hubungan Karakteristik Wanita Usia Subur dengan Kejadian Infeksi Menular
Seksual di Puskesmas Katapang Tahun 2016.
1.4.2
Tujuan Khusus
1.
Untuk mengetahui distribusi
frekuensi Kejadian Infeksi Menular Seksual pada Wanita Usia Subur di Puskesmas
Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016
2.
Untuk mengetahui
hubungan status perkawinan pada Wanita Usia Subur terhadap Kejadian Infeksi
Menular Seksual di Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016
3.
Untuk mengetahui hubungan
Pendidikan pada Wanita Usia Subur terhadap Kejadian Infeksi Menular Seksual di
Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016
4.
Untuk mengetahui hubungan
Pekerjaan pada Wanita Usia Subur terhadap Kejadian Infeksi Menular Seksual di
Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016
5.
Untuk mengetahui
hubungan Pemakaian Pemakaian Kondom pada Wanita Usia Subur terhadap Kejadian
Infeksi Menular Seksual di Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016.
1.5 Hipotesis
Hipotesis dalam
penelitian ini adalah terdapat hubungan karakteristik wanita usia subur dengan
kejadian infeksi menular seksual di Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun
2016.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Teoritik
Dengan
adanya penelitian ini di harapkan dapat memberikan pengetahuan serta wawasan
baru dan dapat menerapkan serta mengaplikasikan ilmu yang telah di dapat selama
bangku perkuliahan Sekolah tinggi ilmu Kesehatan Rajawali.
1.6.2 Manfaat Praktis
a.
Bagi Institusi
Pendidikan
Dapat bermanfaat bagi institusi
pendidikan sebagai tambahan studi kepustakaan mengenai beberapa hasil
penelitian yang telah dilakukan dan menjadikan salah satu masukan untuk
mendidik dan melatih mahasiswa dalam masalah pada Infeksi Menular Seksual (IMS)
pada Wanita Usia Subur (WUS).
b.
Bagi Lahan Praktik
Dapat mengetahui karakteristik
wanita usia subur dengan kejadian infeksi menular seksual, dapat digunakan
sebagai gambaran bagi tenaga kesehatan untuk penataklaksanaan yang tepat
terhadap kasus ini dengan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan meningkatkan
kinerja untuk melaksanakan prosedur tetap yang digunakan dalam pengelolaan
kasus Infeksi Menular Seksual (IMS).
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Penyakit Menular
Seksual
2.1.1 Pengertian Penyakit
Menular Seksual
Penyakit
menular seksual (PMS) adalah penyakit yang dapat ditularkan dari seseorang
kepada orang lain melalui hubungan seksual. Seseorang beresiko tinggi terkena
PMS bila melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan baik melalui
vagina, oral maupun anal (Irianto, 2015).
Penyakit
menular seksual (PMS) adalah gangguan/penyakit-penyakit yang ditularkan dari
satu orang ke orang lain melalui kontak atau hubungan seksual (Setiyaningrum,
2015).
Penyakit menular seksual adalah suatu gangguan atau penyakit-penyakit
yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, atau jamur yang ditularkan dari
satu orang ke orang lain melalui kontak atau hubungan seksual (Marmi, 2015).
Jadi penyakit menular seksual adalah penyakit yang ditularkan melalui
hubungan seksual.
2.1.2
Jenis-jenis
IMS
2.1.2.1 Gonore
a. Pengertian
Gonore
Gonore mencakup semua penyakit yang disebabkan
oleh Neissaria gonnorrhoeae (Daili, 2014).
Bakteri ini melekat dan
menghancurkan membran sel epitel yang melapisi selaput lendir terutama epitel
yang melapisi kanalis endoserviks dan uretra. Infeksi ekstra genital di faring,
anus, dan rektum dapat dijumpai pada kedua jenis kelamin. Untuk dapat menular,
harus terjadi kontak langsung mukosa ke mukosa. Penularan dari laik-laki ke
perempuan lebih sering terjadi dari pada penularan dari perempuan ke laki-laki
karena berdiam lama di vagina. Setelah terinokulasi, infeksi dapat menyebar ke
prostat, vas deferens, vesikula seminalis, epydydymis, dan testis pada pria,
uretra, tuba falopii, endometrium, dan rongga peritonium pada perempuan
(Setiyaningrum, 2015).
b.
Penyebab Gonore
Gonore disebabkan oleh
bakteri Neissaria gonnorrhoeae (gonococci) yang hidup di jalan
reproduksi wanita maupun pria ditularkan melalui intercourse seksual. Rata-rata bakteri bereproduksi dengan membagi
diri setiap 20 menit (Verawaty, 2012).
c.
Gejala dan Tanda Gonore
Pada perempuan, gejala
dan tanda timbul dalam 7-21 hari yang dimulai dengan sekret vagina, nyeri
abdomen, nyeri rektum, gatal, dan tenesmus.
Infeksi ekstragenital
yang bersifat primer atau sekunder lebih sering dijumpai karena berubahnya
praktik-praktik seksual. Infeksi gonokokus di faring lebih sering asimptomatik
tapi dapat juga menyebabkan faringitis dengan eksudat mukopurulen, demam dan
limfodenopati leher (Setiyaningrum, 2015).
d.
Terapi Gonore
Gonore dapat
disembuhkan dengan penisilin mulai tahun 1940-an, namun sekarang banyak
berkembang galur-galur gonorea yang resisten panisilin. Terapi yang saat ini
direkomendasikan adalah golongan sefalosporin
dan fluorokuinolon. Semua kontak
seksual pasien yang terinfeksi harus dievaluasi dan ditawarkan terapi
profilaktik (Setiyaningrum, 2015).
2.1.2.2 Uretritis Non-Gonokokus
dan Servisitis Klamidialis
a.
Pengertian
Uretritis
Non-Gonokokus dan Servisitis
Klamidialis merupakan penyakit menular seksual yang biasanya disebabkan
oleh Chlamydia trachomatis atau Ureaplasma urealyticium (pada laki-laki),
tetapi kadang-kadang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis atau virus herpes
simpleks. Infeksi ini disebut non-gonokokus untuk menunjukan bahwa infeksi ini
bukan disebabkan oleh Neisseria gonorrheae,
bakteri yang menyebabkan gonore.
b.
Penyebab
Chlamydia trachomatis menyebabkan
sekitar 50% infeksi uretra yang bukan disebabkan gonore pada laki-laki dan
infeksi leher rahim (serviks) penghasil nanah yang bukan disebabkan gonore pada
wanita. Uretritis lainnya disebabkan oleh Ureplasma
urealyticum, yang merupakan suatu bakteri yang menyerupai mikoplasma. Chlamydia merupakan bakteri kecil yang
hanya bisa berkembangbiak di dalam sel. Ureaplasma adalah bakteri yang sangat
kecil, dengan dinding sel yang tidak terlalu kuat, tetapi bisa berkembang biak
di luar sel.
c.
Gejala
Biasanya antara 4-28
hari setelah berhubungan intim dengan penderita, seorang pria akan mengalami
perasaan terbakar yang ringan ketika berkemih. Biasanya akan keluar nanah dan
penis. Nanahnya bisa jernih atau agak keruh, tetapi lebih encer daripada nanah
gonore. Pada pagi hari, lubang penis sering tampak merah dan melekat satu sama
lain karena nanah yang mengering. Kadang-kadang penyakit ini dimulai dimulai
dramatis. Timbul rasa sakit waktu berkemih, frekuensi berkemih menjadi lebih
sering dan dari uretra keluar nanah.
Meskipun
kebanyakan penderita wanita tidak menunjukan gejala, beberapa diantaranya
mengalami urgensi (desakan) berkemih yang lebih sering, rasa nyeri pada saat
berhubungan intim dan keluarnya lendir kekuningan dan nanah dari vagina.
Hubungan seksual melalui mulut ke mulut atau dubur dengan penderita bisa
menyebabkan infeksi tenggorokan atau infeksi dubur. Infeksi ini menyebabkan
rasa nyeri dan keluarnya lendir dan nanah yang berwarna kekuningan.
d.
Pengobatan
Biasanya diberikan antibiotik tetrasiklin
atau doksiklin peroral (melalui mulut), minimal selama 7 hari atau diberikan
azitromisin dosis tunggal. Tetrasiklin tidak boleh diberikan kepada wanita
hamil.
2.1.2.3 Sifilis
a.
Pengertian
Sifilis adalah penyakit
menular seksual yang disebabkan oleh Troponema
pallidum. Bakteri ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir
(misalnya di vagina atau mulut) atau melalui kulit. Dalam beberapa jam, bakteri
akan sampai ke kelenjar getah bening terdekat, kemudian menyebar ke seluruh
tubuh melalui aliran darah. Sifilis juga bisa menginfeksi janin selama dalam
kandungan dan menyebabkan cacat bawaan. Seseorang yang pernah terinfeksi oleh
Sifilis tidak akan menjadi kebal dan
bisa terinfeksi kembali (Setyaningrum, 2015).
b.
Penyebab
Penyebabnya adalah Treponema pallidium, termasuk ordo Spirochaecrales, familia Spirochaecrales dan genus Treponema.
Bentuknya spiral teratur, panjang 6-15 mm, 0,15 mm, terdiri atas 8-24 lekukan.
Pembiakan secara pembelahan melintang, pada stadium aktif tejadi setiap 30 jam
(Verawaty, 2012).
c.
Gejala
Biasanya mulai timbul
dalam waktu 1-3 minggu setelah terinfeksi, rata-rata 3-4 minggu. Infeksi bisa
menetap selama bertahun-tahun dan jarang menyebabkan keruskan jantung, kerusakan
otak maupun kematian (Setyaningrum, 2015).
d.
Pengobatan
Penderita sifilis fase primer atau sekunder bisa
menularkan penyakitnya, karena itu penderita sebaiknya menghindari hubungan
seksual sampai penderita dan mitra seksualnya telah selesai menjalani
pengobatan. Pada sipilis fase primer, semua mitra seksualnya dalam 1 tahun
terakhir terancam tertular. Mereka harus menjalani tes penyaringan antibodi dan
jika hasilnya positif, mereka perlu menjalani pengobatan. Antibiotik terbaik
untuk semua fase sifilis biasanya
adalah suntikan penisilin (Setyaningrum, 2015).
a.
Pengertian
Trikomoniasis
merupakan penyakit infeksi protozoa yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis, biasanya ditularkan melalui hubungan seksual
dan sering menyerang traktus urogenitalis bagian bawah pada wanita maupun pria,
namun pada pria peranannya sebagai penyebab penyakit yang masih diragukan.
b.
Penyebab
T.vaginalis merupakan
satu-satunya spesies Trichomonas yang
bersifat patogen pada manusia dan dapat dijumpai pada traktus urogenital.
Pertama kali dikemukakan oleh Donne pada tahun 1836 dan untuk waktu yang lama
sejak ditemukannya dianggap sebagai komensal.
T.vaginalis cepat
mati bila mengering, terkena sinar matahari dan terpapar air selama 35-40
menit. Pada keadaan higiene yang kurang memadai dapat terjadi penularan melalui
handuk atau pakaian yang terkontaminasi.
c.
Tanda dan gejala
Duh
tubuh yang klasik berwarna kehijauan dan berbusa, keadaan ini hanya ditemukan
pada 10-30% penderita. Duh tubuh yang banyak sering menimbulkan keluhan rasa
gatal dan perih pada vulva serta sekitarnya. Keluhan lain yang mungkin terjadi
adalah dispareunia, perdaraham pasca koitus dan perdarahan intermenstrual.
d.
Pengobatan
Pengobatan
Trikomoniasis harus diberikan kepada penderita yang menunjukan gejala maupun
yang tidak. Rejimen alternatif adalah Metronidazol 2x0,5 gram oral selama 7
hari (Daili, 2014).
2.1.2.5 Kondiloma
a. Pengertian
Kondiloma adalah kutil yang
berlokasi di area genital (uretra, genital dan rektum). Kondiloma merupakan
penyakit menular seksual dan berpengaruh buruk bagi kedua pasangan. Masa
inkubasi dapat terjadi sampai beberapa bulan tanpa tanda dan gejala penyakit.
Biasanya lebih banyak selama masa kehamilan dan ketika terjadi pengeluaran
cairan yang berlebihan dari vagina. Meskipun sedikit, kumpulan bunga kol bisa
berkembang dan sebagai akibatnya adalah akumulasi bahan-bahan purulen pada
belahan-belahan, biasanya berbau tidak sedap warnya abu-abu, kuning pucat atau
merah muda. Kondiloma akuminata merupakan tonjolan-tonjolan yang berbentuk
bunga kol atau kutil yang meruncing kecil yang bertumbuh kembang sampai
membentuk kelompok yang berkembang terus ditularkan secara seksual.
Kondiloma
akuminata dijumpai pada berbagai bagian penis
atau biasanya didapatkan melalui hubungan seksual melewati liang rectal
disekitar anus, pada wanita dijumpai pada permukaan mukosa pada vulva, serviks,
pada perineum atau disekitar anus.
b.
Penyebab kondiloma
Kondiloma disebabkan oleh infeksi pada epidermis
oleh jenis Human Papiloma Virus yang
spesifik pada sebagian besar lesi yang terjadi akibat HPV 6 dan 11 yang
dijumpai.
c.
Gejala dan tanda yang
sering muncul :
a)
Kondiloma
akuminata sering muncul di daerah yang lembab,
biasanya pada penis, vulva, dinding vagina dan dinding serviks dan dapat
menyebar sampai daerah perianal
b)
Berbau busuk
c)
Warts/kutil memberi
gambaran merah muda, flat, gambaran bunga kol
d)
Pada wanita Kondiloma acuminata menyerang daerah
yang lembab dari labia minora dan vagina. Sebagian besar lesi timbul tanpa
simpton. Pada sebagian kasus biasanya terjadi perdarahan setelah coitus, gatal
atau vaginal discharge.
e)
Ukuran tiap kutil
biasanya 1-2 mm, namun bila berkumpul sampai berdiameter 10,2 cm dan
bertangkai. Dan biasanya ada yang sangat kecil sampai tidak diperhatikan.
Terkadang muncul lebih dari satu daerah
f)
Pada kasus yang jarang,
pendarahan dan obstruksi saluran kemih jika virus mencapai saluran uretra
g)
Memiliki riwayat
kehidupan seksual aktif dengan banyak pasangan
h)
Kondiloma
ukuran besar dan Kondiloma
ukuran kecil
i)
Kondiloma
pada penis Kondiloma
pada dinding vagina
d.
Penatalaksanaan
Karena
virus infeksi HPV sangat bersifat subklinis dan laten, maka tidak terdapat
terapi spesifik terhadap virus ini, maka perawatan diarahkan pada pembersihan
kutil-kutil yang tampak dan bukan pemusnahan virus.
Pemeriksaan
lesi yang muncul sebelum kanker serviks adalah sangat penting bagi pasien
wanita yang memiliki lesi klinis atau riwayat kontak. Perhatian pada pribadi
harus ditekankan karena kelembaban mendukung pertumbuhan kutil (Setyaningrum,
2015).
2.1.2.6
Herpes
genitalis
a.
Pengertian
Herpes
genitalis adalah infeksi pada genital yang disebabkan oleh Herpes simplex virus (HSV) dengan gejala khas berupa vesikel yang
berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat rekurens.
b.
Penyebab
Herpes
genitalis disebabkan oleh Herpes simplex
virus (HSV) atau Herpes virus hominis
(HVH), UNNA (1883) yang pertama kali mengetahui bahwa penyakit ini dapat
ditularkan melalui hubungan seksual.
c.
Gejala
Biasanya didahului rasa terbakar dan gatal di daerah lesi yang terjadi
beberapa jam sebelum timbulnya lesi. Setelah lesi timbul dapat disertai gejala
konstitusi seperti malaise, demam dan nyeri otot. Lesi pada kulit berbentuk
vesikel yang berkelompok dengan dasar eritem
. Tanpa infeksi sekunder, penyembuhan terjadi dalam waktu lima sampai
tujuh hari dan tidak terjadi jaringan parut, tetapi bila ada, penyembuhan
memerlukan waktu lebih lama dan meninggalkan jaringan parut.
d.
Pengobatan
Terapi Herpes Simpleks
Dilakukan tes darah, terapi diberikan dalam
bentuk krim, pil atau secara intrevena (infus). infeksi pada ibu hamil atau ibu
menyusui, janin atau anaknya maka perlu resep dokter sendiri yang perlu ada
tambahan obat bagi mereka.
1. Infeksi Primer
a. Acyckivir 3x400 mg dan
Acyclovir 5x200 mg oral (7-10 hari)
b. 2x1 g oral (7-10 hari)
2. Infeksi
berulang/kambuhan
a. Acyclovir 2x800 mg oral
(5 hari)
b. Valacyclovir 2x500 mg
oral (3 hari)
3. Terapi Supresi : yang sering kambuh
(> 6x/tahun)
a. Acyclovir 400 mg oral 2
kali sehari (6 bln- 1 tahun)
b. Valacyclovir 500 mg oral
sekali sehari (1 tahun) (Daili, 2014).
2.1.2.7
HIV/AIDS
a.
Pengertian
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menurunkan sistem
kekebalan tubuh. Sedangkan AIDS (Acquired
Immuno Deficiency Syndrom) adalah kumpulan berbagai penyakit akibat
turunnya kekebalan tubuh.
b.
Penyebab
AIDS
disebabkan oleh virus yang disbut HIV. Virus ini ditemukan oleh Montagnier,
seorang ilmuwan Perancis (Insitute Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus
dari seorang penderita dengan gejala limfadenofati, sehingga pada waktu itu
dinamakan Lymphadenopathy Associated
Virus (LAV).
c.
Gejala
1. Riwayat
tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-obatan
2. Penampilan
umum: pucat, kelaparan
3.
Gejala subyektif: demam
kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat malam hari berulang kali, lemah,
lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit tidur
4.
Psikosial: kehilangan
pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola hidup, ungkapan perasaaan takut,
cemas, meringis
5.
Status mental: marah
atau pasrah, depresi ide bunuh diri, apati, withdrawl, hilang interest pada
lingkungan sekitar, gangguan proses piker, hilang memori, gangguan atensi dan
konsentrasi, halusinasi dan delusi
6.
Neurologis: gangguan
refleks pupil, vertigo, ketidakseimbangan, kaku kuduk
7.
Kardiovaskuler:
takikardi, sianosis, hipotensi
8.
Pernapasan:
dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot bantu pernapasan, batuk
produktif, atau non produktif
9.
Integument: kering,
gatal, rash, atau lesi, turgor jelek, petekie
positif (Setyaningrum, 2015).
d.
Penatalaksanaan
Di
waktu lalu bila menghadapi penderita positif HIV, pada umumnya bersifat
menunggu sambil memberikan konseling secara periodik kepada penderita.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, sekarang sudah dipastikan
bahwa pemberian antiretroviral pada periode asimtomatik fase lebih awal dapat
memperpanjang periode asimtomatik dan menghambat perkembangan penyakit ke arah
AIDS atau dengan kata lain memperpanjang hidup penderita (Daili, 2014).
2.1.3
Gambar
Penyebab Infeksi Menular Seksual
Gambar 2.1 Neissaria
gonnorrhoeae
Gambar 2.2 Troponema pallidium
Gambar 2.3 Human Papiloma Virus
Gambar 2.4 Trichomonas
vaginalis
Gambar 2.5 Herpes simplex virus
2.1.4 Kelompok perilaku risiko tinggi
Menurut
Daili (2014) PMS yang dimaksud dengan perilaku risiko tinggi ialah perilaku
yang menyebabkan seseorang mempunyai risiko besar terserang penyakit.
Yang
tergolong kelompok risiko tinggi adalah
1.
Usia
a)
20-34 tahun pada
laki-laki
b)
16-24 pada wanita
c)
20-24 pada kedua jenis
kelamin
2.
Pelancong
3.
Pekerja seksual atau
wanita tuna susia
4.
Pecandu narkotik
5.
Homoseksual.
2.1.5
Komplikasi Infeksi Menular Seksual
Menurut Setyaningrum (2015) komplikasi
yang dapat terjadi pada Infeksi Menular Seksual adalah :
1.
Kemandulan baik pria
maupun wanita
2.
Kanker leher rahim pada
wanita
3.
Kehamilan
di luar rahim
4.
Infeksi yang menyebar
5.
Bayi lahir dengan
kelahiran yang tidak seharusnya, seperti lahir sebelum cukup umur, berat badan
lahir rendah, atau terinfeksi PMS.
2.1.6 Gejala-gejala IMS
IMS
seringkali tidak menampakkan gejala, terutama pada wanita. Namun, ada pula IMS
yang menunjukan gejala-gejala umum sebagai berikut :
a)
Keluarnya cairan dari
vagina, penis atau dubur yang berbeda dari biasanya. Pada wanita, terjadi
peningkatan keputihan. Warnanya bisa menjadi lebih putih, kekuningan,
kehijauan, atau kemerah mudaan. Keputihan bisa memiliki bau yang tidak sedap
dan berlendir
b)
Rasa perih, nyeri atau
panas saat kencing atau setelah kencing, atau menjadi sering kencing
c)
Adanya luka terbuka,
luka basah di sekitar kemaluan atau sekitar mulut (nyeri ataupun tidak)
d)
Tumbuh seperti jengger
ayam atau kutil di sekitar kelamin, tonjolan kecil-kecil, atau lecet disekitar
alat kelamin
e)
Gatal-gatal di sekitar
alat kelamin
f)
Terjadi pembengkakan
kelenjar limfa yang terdapat pada lipatan paha
g)
Pada pria, kantung
pelir menjadi bengkak, kemerahan, dan nyeri
h)
Pada wanita, sakit
perut bagian bawah yang kambuhan (tetapi tidak ada hubungannya dengan haid),
vagina bengkak dan kemerahan, perdarahan diluar siklus haid
i)
Sakit saat berhubungan
seks
j)
Mengeluarkan darah
setelah berhubungan seks
k)
Secara umum merasa
tidak enak badan, lemah, kulit menguning nyeri sekujur tubuh, dan demam (Marmi,
2015).
2.1.7
Penatalaksanaan
IMS
Penatalaksanaan
IMS menurut Daili (2014) ialah sebagai berikut.
a. Anamnesis,
penilaian medis, dan perilaku berisiko
Mencakup riwayat perilaku seksual, keluhan
dan gejala, keterangan tentang pengobatan sebelumnya dan riwayat alergi
terhadap obat. Riwayat seksual diperlukan untuk menentukan apakah termasuk
perilaku beresiko. Hal ini penting oleh karena tidak semua pasien menunjukan
gejala klinis atau keluhan.
Pasien dianggap berisiko, bila menjawab
“YA” untuk satu atau lebih pertanyaan berikut ini.
1. Suami
atau pasangan seksual menderita PMS
2. Suami/pasangan
seksual/pasien sendiri mempunyai pasangan seksual lebih dari 1 dalam 1 bulan
terakhir
3. Mempunyai
pasangan baru dalam 3 bulan terakhir
4. Mengalami
1 atau lebih episode PMS dalam 1 tahun terakhir
5. Pekerjaan
suami/pasangan seksual berisiko
tinggi.
b.
Pemeriksaan fisik
(terutama daerah genital dan sekitarnya)
1.
Inpeksi genital
eksterna, lihat adakah ulkus/erosi atau lesi lain periksa juga adakah
pembesaran kelenjar getah bening didaera inguinal
2.
Masukkan spekulum,
periksa dinding vagina dan serviks untuk melihat tanda-tanda peradangan, duh
tubuh, erosi atau lesi lain
3.
Pengambilan bahan
vagina untuk pemeriksaan mikroskop (sediaan basah atau dengan pewarnaan Gram):
bersihkan dulu mulut serviks dengan kasa steril, kemudian ambil bahan dari
serviks. Apuskan bahan pada gelas objek untuk pewarnaan Gram. Dibaca dengan
mikroskop cahaya.
c.
Pemeriksaan
laboratorium khusus, bila tersedia fasilitas
Untuk setiap klinik
yang mempunyai fasilitas laboratorium khusus, pada setiap kasus dengan ulkus
harus dilakukan pemeriksaan dengan mikroskop lapangan gelap (LG), tes serologi
untuk sifilis (TSS) yaitu VDRL
kauntitatif dan TPHA, serta pemeriksaan Unna
Ducreyi (UD).
Selain
hal-hal tersebut di atas, juga dilakukan pemeriksaan lanjut terhadap duh tubuh
(uretra atau vagina) untuk pemeriksaan gonokokus (kultur dan tes sensivitas), Chlamydia trachomatis (pemeriksaan
ELISA), dan Mycoplasma.
d.
Pendidikan pasien dan
pencegahan PMS dengan anjuran pemakaian kondom
1.
Bahaya PMS termasuk
komplikasinya, terutama akibatnya akan infeksi HIV
2.
Pentingnya mematuhi
pengobatan yang diberikan
3.
Cara penularan PMS dan
perlunya pengobatan untuk pasangan seksual tetapnya
4.
Hindari hubungan seks
sebelum sembuh, bila tidak terhindarkan lagi, pakai kondom tiap kali hubungan
seks
5.
Hindari PMS dan infeksi
HIV di masa yang akan datang, dengan cara :
a)
Tidak berganti-ganti
pasangan seksual
b)
Hindari hubungan seks
dengan lebih dari 1 pasangan seksual atau dengan pekerja seks, namun bila tidak
terhindarkan lagi, harus memakai kondom.
e.
Anjurkan semua pasien
untuk skrining sifilis dan infeksi HIV
Yakinkan pasien bahwa
mereka akan mendapat konseling pra dan pasca pemeriksaan HIV.
f.
Buat perjanjian untuk
kunjungan lanjut
Semua pasien harus
membuat perjanjian untuk kunjungan lanjutan (terutama bagi mereka dengan ulkus
genital, penyakit radang panggul, dan pembengkakan skrotum). Bila gejala pasien
tidak membaik, anjurkan untuk berobat ke spesialis.
g.
Upayakan agar pasangan
seksualnya dapat diperiksa dan diobati
Bila
pasangannya tidak dapat datang, pengobatan untuk pasangan tersebut diberikan
sesuai penyakit pasien dan melalui pasien. Diusahakan agar semau informasi
tetap terjaga kerahasiaannya. Proses ini sedapat mungkin bersifat sukarela dan
tidak memaksa.
h.
Berikan
kondom, dan tunjukan cara pemakaiannya yang benar
i.
Pasien yang datang
untuk penyakit lainnya, namun ternyata beresiko tinggi mendapat PMS, sedapat
mungkin menjalani pemeriksaan berikut ini :
a.
Penilaian risiko tinggi
mendapat PMS
b.
Pemeriksaan fisik
terarah berdasarkan gejala yang ada
c.
Skrining untuk infeksi asimtomatik.
Uji Diagnostik
Terintegrasi Infeksi Menular Seksual menurut Black (2014)
Klien memiliki keluaran (sekret) vagina atau penis,
nyeri abdomen, manfestasi perkemihan atau perdarahan ireguler
|
Uji untuk klamidia dan
gonorea dengan usap serviks/uretra atau spesimen urine. Kultur jaringan
adalah indikator terbaik. Uji lain yang cepat, nonkultur dan lebih murah
|
Klien datang
dengan manifestasi IMS
|
Klien memiliki ulkus genital
|
Serologi, sifilis
diikuti oleh pemeriksaan langsung untuk T.pallidium jika diindikasikan
|
Klien memiliki
kutil genital yang terlihat, paparan terhadap HPV yang diketahui, atau
memiliki PAP smear abnormal
|
Tes DNA HPV pada
usap serviks
|
Bagan 2.1
(Uji Diagnostik Terintegrasi Infeksi
Menular Seksual)
2.1.8
Cara
Penularan IMS
Salah satu akibat yang ditimbulkan oleh
aktivitas seks yang kurang sehat adalah munculnya penyakit menular seksual.
Penularan penyakit ini biasanya terjadi karena seringnya seseorang melakukan
hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan. Bisa juga karena melakukan
hubungan seksual dengan orang yang sebelumnya sudah terkena penyakit ini.
Selain itu, terdapat rentang keintiman
kontak tubuh yang dapat menularkan PMS termasuk ciuman, hubungan seksual,
hubungan seksual melalui anus, kunilingus, anilingus, felasio, dan kontak mulut
atau genital dengan payudara (Daili, 2014)
Menurut Marmi (2015), cara lain
seseorang dapat tertular PMS juga melalui :
1. Darah
Dari tansfusi darah yang terinfeksi, menggunakan jarum suntik bersama, atau benda tajam lainnya ke bagian tubuh untuk menggunakan obat atau membuat tato.
Dari tansfusi darah yang terinfeksi, menggunakan jarum suntik bersama, atau benda tajam lainnya ke bagian tubuh untuk menggunakan obat atau membuat tato.
2. Ibu hamil kepada bayinya
Penularan selama kehamilan, selama
proses kelahiran. Setelah lahir, HIV bisa menular melalui menyusui.
3. Penyakit herpes simpleks termasuk dalam kategori
penyakit infeksi menular seksual karena ditularkan
terutama melalui hubungan seksual, sedangkan herpes zoster timbul akibat
reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer yang umumnya
bermanifestasi sebagai cacar air (varisela). Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan kulit yang
mengalami lesi karena virus dapat menyebar melalui udara.
4. Tato dan tindik Pembuatan tato di badan,
tindik, atau penggunaan narkoba memberi sumbangan besar dalam penularan
HIV/AIDS. Sejak 2001, pemakaian jarum suntik yang tidak aman menduduki angka
lebih dari 51 % cara penularan HIV/AIDS.
2.1.9
Pencegahan IMS
Menurut BKKBN
(2010) pencegahan penyebarluasan IMS dapat dilakukan dengan cara :
1.
Menggalang dan
meningkatkan komitmen politis Kepala Wilayah/ Daerah dan tokoh masyarakat
terhadap pencegahan PMS dan penanggulangan HIV/AIDS melalui peningkatan
ketahanan keluarga
2.
Menumbuhkan kesadaran
dan kewapadaan dini terhadap keluarga-keluarga yang berisiko tinggi PMS dan
HIV/AIDS dengan cara persuasif fan memperhatikan sopan santun dan norma-norma
yang berlaku pada masyarakat
3.
Mengembangkan
kelompok-kelompok yang peduli terhadap bahaya PMS dan HIV/AIDS serta mengajak
penderita PMS dan HIV/AIDS dalam berbagai penyuluhan
4.
Menyiapkan langkah
operasional program KIE dan meningkatkan komitmen pencegahan dan penanggulangan
PMS dan HIV/AIDS dengan instansi terkait dan LSOM serta tokoh agama dan
masyarakat dengan melaksanakan program pokok penanggulangan HIV AIDS dalam
kerangka program KB Nasional untuk mewujudkan keluarga berkualitas melalui
Promosi Kondom Dual Proteksi, “universal
precaution” pelayanan kontrasepsi, Remaja sadar HIV/AIDS dan kampanye
keluarga sadar HIV/AIDS
5.
Melakukan koordinasi
upaya pencegahan dan penanggulangan penularan PMS dan HIV/AIDS melalui
peningkatan ketahanan keluarga
6.
Melakukan penelitian
dan pengkajian dalam pencegahan dan penanggulangan bahaya PMS dan HIV/AIDS
tentang perilaku kelompok keluarga yang berisiko sesuai dengan siklus
pengembangan keluarga
7.
Melakukan monitoring
dan evaluasi terhadap operasional pelaksanaan program kegiatan KIE pencegahan
PMS dan HIV/AIDS
2.2
Wanita
Usia Subur
Wanita usia subur adalah wanita yang
berumur 15-49 tahun baik yang berstatus kawin maupun yang belum kawin atau
janda (BKKBN, 2011).
Usia
dewasa muda, yaitu antara 18 sampai 40 tahun, sering dihubungkan dengan masa
subur, karena pada usia ini kehamilan sehat paling mungkin terjadi. Inilah usia
produktif dalam menapak karir yang penuh kesibukan di luar rumah. Di usia ini
wanita harus lebih memperhatikan kondisi tubuhnya agar selalu dalam kondisi
prima (Irianto, 2015).
Usia dewasa muda, yaitu antara 18 sampai 40 tahun, sering dihubungkan
dengan masa subur. Pada periode ini masalah kesehatan berganti dengan gangguan
kehamilan, kelelahan kronis akibat merawat anak, dan tuntutan karir. Kanker,
kegemukan, depresi dan penyakit serius tertentu mulai menggerogoti tubuhnya.
Masalah yang mungkin ditemui, kesakitan dan keamtian ibu yang disebabkan
berbagai kondisi, malnutrisi atau anemia, kemandulan, pelecehan atau kekerasan
seksual, komplikasi aborsi, ISR/IMS/HIV/AIDS dan pengaturan kesuburan (Marmi,
2015).
2.3
Karakteristik
Karakteristik
adalah merupakan sebuah ciri khas yang dimiliki oleh seseorang dan ciri-ciri
khusus atau seseorang yang memiliki sifat khusus dan perwatakan khusus.
1.
Kejadian IMS
Faktor-faktor
risiko yang mempengaruhi adalah kejadian IMS menurut Setiyaningrum beberapa
penyakit menular seksual yang sering ditemukan di Indonesia antara lain:
disebabkan oleh bakteri (Gonore, Sifilis,
Uretritis, Vaginosis bakterial), disebabkan oleh virus (AIDS, Herpes genetalis, Hepatiis B, Kondiloma
akuminata), disebabkan oleh jamur (Kandida
vaginosis), disebabkan oleh parasit (Scabies,
Pedikulosis pubis).
2.
Status Perkawinan
Status perkawinan
memengaruhi epidemiologi IMS. Insiden IMS berisiko lebih tinggi pada orang yang
belum menikah daripada sudah menikah. Selain itu, orang bercerai atau terpisah
dari keluarga juga berisiko tinggi (Lestari, 2014).
Dari hasil penelitian
Muda (2014), peneliti berasumsi bahwa penderita IMS lebih banyak pada
seseoranga yang tidak kawin sesuai dengan hasil penelitian yang didapat yakni
sebanyak 19 orang (55,9%). Setelah dikaji lebih dalam dengan penderita, IMS
terjadi karena pada seseorang yang tidak kawin baik laki-laki maupun perempuan
kebutuhan akan seksual lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang sudah kawin,
sehingga perilaku seks yang tidak aman dengan pasangan yang berisiko menularkan
IMS dapat menjadi sumber terinfeksinya IMS pada diri seseorang yang tidak
kawin. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Setyawulan (2007) yang mengemukakan
insiden IMS lebih tinggi pada orang yang belum kawin, bercerai atau orang yang
terpisah dengan keluarganya bila dibandingkan dengan orang yang sudah kawin
karena memenuhi kebutuhan seksualnya terpenuhi.
Selain
terjadi pada seseorang yang tidak kawin IMS juga sering terjadi pada seseorang
yang sudah kawin. IMS yang terjadi pada seseorang yang sudah kawin disebabkan
karena suami yang suami yang suka berganti-ganti pasangan akibat terjadinya
kejenuhan dalam rumah tangga sehingga menyebabkan isteri rentan terhadap IMS.
Sedangkan IMS yang terjadi pada penderita laki-laki yang berstatus kawin
berjumlah 4 orang dikarenakan penderita merasa bosan dengan pasangan akibat
terjadi karena kejenuhan aktivitas seksual terasa monoton sehingga timbul
keinginan untuk “jajan diluar”. Hal ini juga dapat dilihat dari segi usia
responden yakni paling banyak 50,0% responden berusia 26-35 tahun (usia dewasa
awal atau pertengahan). Menurut Munajat (2000), ketidakpuasan seksual lebih
mudah terjadi pada pernikahan dengan usia pertengahan (middle marriage). Kehidupan seksual terasa lebih gersang sehingga
mudah mencapai kebosanan dan aktivitas seksual terasa lebih gersang sehingga
mudah mencapai kebosanan dan aktivitas seksual terasa monoton karena kurang
bervariasi sehingga bisa menyebabkan seseorang suka berganti gonta-ganti
pasangan (dalam Anonim, 2011).
3.
Pendidikan
Pendidikan secara umum
adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik
individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang
diharapkan oleh pelaku pendidikan. Hasil dari pendidikan tersebut adalah
perubahan kemampuan, penampilan, atau perilakunya. Selanjutnya perubahan
perilaku didasari adanya perubahan atau penambahan pengetahuan, sikap atau
ketrampilannya (Notoatmodjo, 2010).
Adapun jenjang
pendidikan berdasarkan UU RI nomor 20 tahun 2003 terbagi menjadi tiga yaitu :
a.
Pendidikan dasar, yaitu
pendidikan yang berbentuk sekolah dasar (SD), madrasah ibtidaiyah (MI), sekolah
menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs).
b.
Pendidikan menengah,
yaitu pendidikan yang berbentuk sekolah menengah atas (SMA), sekolah menengah
kejuruan (SMK) dan madrasah aliyah kejuruan (MAK) 18
c.
Pendidikan tinggi,
yaitu pendidikan yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister,
spesialis dan doktor. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap pengetahuan,
sikap dan perilaku seksual seseorang.
Faktor
pendidikan sebagai contohnya, 37-40% wanita umur 18-24 tahun dengan pendidikan
tidak tamat SD dan tamat SD telah berhubungan seks 18 tahun dibandingkan 26%
atau lebih rendah pada wanita yang berpendidikan tidak tamat SMA atau lebih
tinggi pendidikannya (SDKI, 2012).
Menurut penelitian Nova (2016)
dengan penyakit menular seksual, ternyata dari 41 (80,4%) orang responden yang
berpendidikan dasar, semua responden mengalami penyakit menular seksual dan
klien yang berpendidikan tinggi terdapat 10 (19,6%) orang responden, sebagian
besar 8 (15,7%) orang responden tidak mengalami penyakit menular seksual.
Sejalan dengan penelitian
Revilliana (2011), dengan judul “Beberapa faktor (sosial ekonomi, pendidikan,
status perkawinan) yang mempengaruhi tingginya kejadian PMS di Lokalisasi gang
sadar Baturaden Kabupaten Banyumas Tahun 2011”, menyatakan bahwa pendidikan
seseorang mempengaruhi akan terjadinya PMS, karena semakin rendah tingkat
pendidikan seseorang maka semakin rendah tingkat pengetahuan yang mempengaruhi
tingkat kesadaran seseorang untuk mengambil suatu keputusan ataupun tindakan.
Dalam penelitian ini tingkat
pendidikan akan mempengaruhi daya serap responden terhadap informasi yang
diterima. Dengan pendidikan yang cukup tinggi terjadi proses pertumbuhan,
perkembangan atau perubahan kearah yang lebih baik dan matang pada diri
individu (Notoatmodjo, 2003) sehingga responden akan mudah menerima pengaruh
dari luar, lebih objektif dan terbuka terhadap berbagai informasi termasuk
informasi kesehatan. Sedangkan dilihat dari hasil uji Continuity Correction didapatkan nilai x²=33.089 dengan
p=0,000<0,05 yang berarti bahwa adanya hubungan yang bermakna antara
pendidikan klien dengan terjadinya penyakit menular seksual.
4.
Pekerjaan
Menurut Siboulet ada 5
golongan yang dilaporkan beresiko terkena IMS yaitu pelajar dan mahasiswa,
supir truk, pegawai hotel, pramuria dan PSK, kelompok usia dibawah 19 tahun dan
turis (Lestari, 2014).
Hubungan
antara pekerjaan dengan masalah kesehatan telah sejak lama diketahui yang saat
ini menjadi perhatian utama ahli Hiperkes. Pada dasarnya hubungan antara yang
terjadi disebabkan oleh tiga hal yakni :
a.
Adanya risiko pekerjaan
Setiap pekerjaan
mempunyai risiko tertentu dan karena itulah macam penyakit yang dideritanya
akan berbeda pula.
b.
Perbedaan macam
pekerjaan
Perbedaan macam
pekerjaan yang memiliki seseorang menyebabkan terdapatnya pula perbedaan status
sosial ekonomi yang dimiliki. Adanya perbedaan yang seperti ini menyebabkan
perbedaan penyakit yang dideritanya (Sulistyaningsih, 2011).
5.
Pemakaian Kondom
Pemakaian kondom pada
kelompok risiko merupakan isu penting dalam kebijakan penanggulangan IMS.
Penggunaan kondom yang tidak konsistensi merupakan faktor risiko untuk
terjadinya infeksi menular seksual sebesar 1,8 lebih (Arifin, 2012). Data yang
dilaporkan di klinik IMS, menunjukan bahwa 85% dari perilaku seksual dengan
berbagai alasan tertentu, sehingga hal ini dapat meningkatkan risiko penularan
IMS. Dari hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa, IMS tidak hanya terjadi
pada seseorang dengan tindakan pemakaian kondom kurang, akan tetapi dapat
terjadi pada seseorang dengan tindakan pemakaian kondom baik. Hal ini dapat
terjadi karena cara pemakaian kondom yang tidak benar, kondom rusak atau bocor,
penggunaan kondom yang tidak benar, kondom rusak atau bocor, penggunaan kondom
secara berulang dan menggunakan kondom yang melewati masa kadaluarsa (Muda,
2014).
2.4
Peran
Bidan dalam Mengatasi IMS
Sebagai seorang bidan
dalam hal ini dapat mengambil perannya sebagai pelaksana yaitu :
a.
Memberikan
penyuluhan kepada WUS tentang seks, sebelum terjadi penularan IMS melalui
hubungan seksual, betapa bahayanya jika melakukan hubungan seks bebas seperti
berganti-ganti pasangan seks, melakukan hubungan seks lewat dubur (anal), oral
seks.
b.
Pada seseorang yang
telah terkena IMS, bidan disini memberikan konseling memberikan informasi yang
selengkap-lengkapnya tentang IMS, seseorang yang terkena IMS dianjurkan untuk
tidak berhubungan seks untuk menghindari tertularnya kepada patner seksnya,
jika melakukan hubungan seks sebaiknya menggunakan kondom, IMS yang masih dapat
disembuhkan sebaiknya penderita dianjurkan untuk melakukan pengobatan rutin
c.
Bekerja sama dalam
melakukan rujukan bila pasien terkena IMS
d. Bidan sebagai role model memberi
contoh sikap yang baik pada masyarakat.
e. Memberikan konseling pada
masyarakat terutama pasangan suami istri tentang
kesehatan reproduksi.
f. Memberikan konseling pada
masyarakat tentang penyebab dan akibat IMS
g. Bekerjasama dengan tokoh
masyarakat dan tokoh agama dalam pelaksanaan penyuluhan pada masyarakat.
h. Mewaspadai gejala-gejala dan
mendeteksi dini adanya PMS (Marmi,
2015).
2.5
Kerangka
Teori
Berdasarkan tinjauan
teori yang telah di uraikan diatas dapat di gambarkan kedalam suatu bagan
kerangka teori di bawah ini.
Faktor
predisposisi:
1.
Berganti-ganti
pasangan
2.
Homoseksual
3.
Pekerja seksual
komersial
4.
Pendidikan
5.
Pekerjaan
6.
Status perkawinan
7.
Pemakaian kondom
|
|
Infeksi Menular
Seksual pada Wanita Usia Subur
|
Faktor
pendorong :
1.
Sikap dan perilaku
Petugas
|
Bagan
2.2 Kerangka Teori
Sumber
:
Daili, Sjaiful Fahmi
(2014); Lestari, Tri Wiji (2014); Notoatmodjo, Soekidjo (2010); Muda,
Febrianingsih. M (2014); SDKI (2012);
2.6
Upaya Menurunkan IMS di Puskesmas Katapang
Upaya yang dilakukan
untuk menurunkan IMS di Puskesmas Katapang
antara lain :
1.
Program yang diadakan
antara lain layanan rutin IMS di Puskesmas Katapang, dari 228 WUS yang
melakukan layanan skrining hanya 97
WUS karena kurangnya kesadaran WUS untuk deteksi dini, diagnosis secara
sindrom/laboratorium, penyediaan obat IMS
2.
Penyuluhan tentang IMS
kepada seluruh WUS oleh dokter umum agar WUS lebih mengetahui tentang
pengetahuan IMS
3.
KIE pencegahan IMS WUS
oleh dokter umum agar WUS mengetahui bagaimana cara mencegah IMS
4.
Puskesmas Katapang
memberikan kondom dan menunjukan cara pemakaian yang benar
5.
Membuat perjanjian
untuk kunjungan lanjut bagi penderita IMS
6.
Pelaporan program kerja
dilakukan setiap bulan, triwulan dan tahunan ke Dinkes.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan
Penelitian
Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan analitik yang
bertujuan untuk menekankan adanya hubungan antara satu variabel dengan variabel
lainnya (Swarjana, 2012). Penelitian ini menghubungkan karakteristik pada
wanita usia subur dengan kejadian infeksi menular seksual.
Pada penelitian ini mempelajari
distribusi frekuensi karakteristik wanita usia subur dengan kejadian infeksi
menular seksual. Jenis penelitian menggunakan pendekatan cross sectional merupakan rancangan penelitian dengan melakukan
pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan (sekali waktu) antara faktor
risiko/paparan dengan penyakit (Hidayat, 2011).
3.2 Kerangka Penelitian
Kerangka konsep merupakan model
konseptual yang berkaitan dengan bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau
menghubungkan secara logis beberapa faktor yang dianggap penting untuk masalah
(Hidayat, 2011).
Bagan 3.1
Kerangka Penelitian
Variabel independent
Variabel dependent
1.
Kejadian
IMS
Pada WUS
|
2.
Status perkawinan
3.
Pendidikan
4.
Pekerjaan
5.
Pemakaian kondom
3.3 Variabel Penelitian
Variabel adalah karakteristik yang
melekat pada populasi, bervariasi antara satu orang dengan yang lainnya dan
diteliti dalam suatu penelitian, misalnya jenis kelamin, berat badan, indeks
masa tubuh, kadar hemoglobin. Suatu karaktersitik tidak disebut sebagai
variabel jika sama (tidak bervariasi) dalam suatu populasi. Misalnya jenis kelamin
pada populasi ibu hamil, sudah dapat dipastikan bahwa semua subyek dalam
populasi berjenis kelamin wanita. Penelitian pada dasarnya adalah mengukur
variabel pada subyek, menggunakan instrumen penelitian yang valid dan reliabel.
Kemudian menentukan hubungan antara variabel-variabel yang diteliti tersebut
menggunakan uji statistik yang sesuai. Sehingga penentuan variabel yang akan
diteliti merupakan kunci dalam suatu penelitian (Dharma, 2011).
Variabel
penelitian yakni sebagai berikut.
1)
Variabel Bebas (Independent)
Variabel
bebas (independent variabel) disebut
juga variabel sebab yaitu karakteristik dari subjek yang dengan kebenarannya
menyebabkan perubahan pada variabel lainnya.
Dalam
penelitian yang menjadi variabel bebas (independent)
adalah karakteristik pasien. Karakteristik pasien meliputi kejadian IMS, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan dan pemakaian kondom.
2)
Variabel terikat (dependent variabel) adalah variabel
akibat atau variabel yang akan berubah akibat pengaruh atau perubahan yang
terjadi pada variabel independent (Dharma, 2011).
Dalam
penelitian ini menjadi variabel terikat (dependent)
adalah kejadian IMS pada WUS.
3.4 Definisi Operasional Variabel
Penelitian
pada dasarnya adalah mengukur/menilai variabel penelitian, kemudian memberikan
gambaran tentang variabel tersebut atau menghubungkannya. Sehingga penting
untuk menjelaskan variabel penelitian, meliputi variabel-variabel yang
diteliti, jenis variabel, definisi konseptual dan operasional, serta bagaimana
melakukan pengukuran/penilaian terhadap variabel.
Mendefinisikan
variabel secara operasional bertujuan untuk membuat variabel menjadi lebih
konkrit dan dapat diukur. Dalam mendefiniskan suatu variabel, peneliti
menjelaskan tentang apa yang harus diukut, bagaimana mengukurnya, apa saja
kriteria pengukurannya. Meskipun dalam beberapa penelitian terlihat ada
beberapa variabel yang sama namun akan terlihat berbeda sesuai dengan
perspektif peneliti setelah dijelaskan secara operasional (Dharma, 2011).
Tabel 3.1
No
|
Variabel
|
Definisi Operasional
|
Alat ukur
|
Hasil ukur
|
Skala Ukur
|
1
|
Kejadian IMS
|
Penyakit yang diderita wanita usia subur yang
dinyatakan menderita infeksi menular seksual dari catatan medis klien yang
menderita Gonore, Sifilis, Vaginosis
bakterial, Herpes genitalis, Kondiloma akuminata, Kandidiasis
vulvovaginal, Trikomoniasis, servisitis,
Klamidia, uretritis, Trikomoniasis
|
Rekam medik
|
1. Ya
2. Tidak
|
Ordinal
|
2
|
Status
perkawinan
|
Keterangan
yang menunjukan riwayat pernikahan yang terdapat dalam catatan medis
|
Rekam
medik
|
1. Menikah
2. Belum
menikah
|
Ordinal
|
3
|
Pendidikan
|
Lamanya sekolah/tingkat sekolah/terakhir dicapai yang
terdapat dalam catatan medis
|
Rekam medik
|
1. Risiko Tinggi (Tidak Sekolah, SD, SMP
2. Risko Rendah (SMA, PT)
|
Ordinal
|
4
|
Pekerjaan
|
Suatu
aktivitas sehari-hari yang dilakukan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya
|
Rekam
medik
|
1.
Bekerja
2.
Tidak bekerja
|
Ordinal
|
5
|
Pemakaian kondom
|
Penggunaan kondom saat melakukan hubungan seksual
|
Rekam
medik
|
1. Pernah
2. Tidak Pernah
|
Ordinal
|
3.5 Populasi Penelitian
Populasi adalah wilayah
generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya (Hidayat, 2011).
Populasi
dalam penelitian ini yaitu seluruh wanita usia subur berumur 15-49 tahun yang
pernah melakukan pemeriksaan Infeksi Menular Seksual di Puskesmas Katapang
Kabupaten Bandung Tahun 2016 sebanyak 228 wanita usia subur.
3.6 Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian
populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah karakteristik yang dimiliki
oleh populasi (Hidayat, 2011).
Teknik
sampling yang digunakan penelitian ini adalah dengan menggunakan total sampling yaitu semua anggota populasi
dijadikan sebagai sampel penelitian.
Sampel
dalam penelitian ini yaitu seluruh wanita usia subur berumur 15-49 tahun yang
pernah melakukan pemeriksaan Infeksi Menular Seksual di Puskesmas Katapang
Kabupaten Bandung Tahun 2016 sebanyak 228 wanita usia subur.
3.6.1 Kriteria Sampel
a. Kriteria
inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi target
yang terjangkau dan akan diteliti. Pertimbangan ilmiah harus menjadi pedoman
saat menentukan kriteria inklusi (Nursalam, 2008).
1. Seluruh
wanita usia subur berumur 15-49 tahun yang pernah melakukan pemeriksaan Infeksi
Menular Seksual di Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016.
b.
Kriteria ekslusi adalah
menghilangkan/mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi
karena berbagai sebab (Nursalam, 2008).
1.
Data rekamedik yang
tidak lengkap
2.
Pasien yang
menderita HIV/AIDS.
3.7 Teknik Pengumpulan Data
dan Prosedur Penelitian
3.7.1 Pengumpulan Data
Merupakan
cara peneliti untuk mengumpulkan data yang akan dilakukan dalam penelitian
(Hidayat, 2011).
Penelitian
ini menggunakan metode pengumpulan data secara dokumenter yaitu dengan melihat
data sekunder. Dalam hal ini, peneliti meminta data dari pihak Puskesmas
Katapang yang telah mendapatkan izin sebelumnya dengan memberikan surat
pengantar dari pihak Institusi Pendidikan.
3.7.2 Pengolahan Data
Dalam
melakukan analisis data terlebih dahulu data harus diolah dengan tujuan
mengubah data menjadi informasi. Dalam statistik, informasi yang diperoleh
dipergunakan untuk proses keputusan, terutama dalam pengujian hipotesis. Dalam
proses pengolahan data terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh, di
antaranya :
1.
Editing
Editing adalah upaya
untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing
dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data terkumpul
2.
Coding
Coding merupakan
kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas
beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat penting bila pengolahan dan
analisis data menggunakan komputer. Biasanya dalam pemberian kode disbut juga
daftar kode dan artinya dalam satu buku (code
book) untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan arti suatu kode dari
suatu variabel
3.
Data
entry
Data entry adalah
kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam master tabel atau
database komputer, kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau dengan
membuat tabel kontigensi
4.
Melakukan teknik
analisis
Dalam melakukan teknik
analisis, khususnya terhadap data penelitian akan menggunakan ilmu statistik
terapan yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak dianlisis (Hidayat, 2011).
3.8 Analisa Data
3.8.1
Analisa
Univariat
Analisis univariat
bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel
penelitian. Bentuk analisis univariat tergantung dari jenis datanya, untuk data
numerik digunakan nilai mean atau rata-rata, median, dan standar deviasi. Pada
umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan
presentase dari setiap variabel (Notoatmodjo, 2010). Dalam penelitian ini yang
termasuk analisis univariat adalah distribusi frekuensi karakteristik pada
wanita usia subur di Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016 dan
distribusi frekuensi kejadian Infeksi Menular Seksual di Puskesmas Katapang
Kabupaten Bandung Tahun 2016.
Cara
menganalisis data besarnya presentase secara deksriptif berdasarkan tabel
distribusi frekuensi digunakan metode menurut Sudjono (2001), dalam Yulianti
(2014) yaitu :
Tabel 3.2
Kategorik
|
Interpretasi
|
Sebagian kecil
Hampir setengah
Setengah
Sebagian besar
Pada umumnya
|
1 – 25%
26 – 49%
50%
51 – 75%
76 – 99%
|
3.8.2
Analisa Bivariat
Analisis bivariat yaitu analisis yang
dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkolerasi. Dalam
analisis ini dapat dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan chi-square untuk mengetahui hubungan
masing-masing variabel yang diteliti. Dengan rumus sebagai berikut :
X2 =
∑ (fO-fn)2
Fn
|
Keterangan :
X2 = chi square
fo
= Frekuensi observasi
fn
= Frekuensi yang diharapkan
3.8.3
Hipotesa
Hipotesis
dapat juga dibedakan berdasarkan hubungan atau perbedaan dua variabel atau
lebih. Hipotesis hubungan berisi tentang dugaan adanya hubungan antara dua
variabel (Notoatmodjo, 2010).
Dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95% atau nilai alpha 0,05 (5%)
dimana kriteria dalam pengujiannya adalah sebagai berikut :
1.
Bila p value < alpha
(0,05) maka hubungan tersebut secara statistik bermakna (ada hubungan)
2.
Bila value > alpha
(0,05) maka hubungan tersebut secara statistik tidak bermakna (tidak ada
hubungan).
3.9 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.9.1 Lokasi
Lokasi penelitian ini
di lakukan di Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016.
3.9.2 Waktu
Waktu
penelitan adalah waktu yang digunakan dalam penelitian tersebut (Notoatmodjo,
2010). Penelitian ini dilakukan pada Bulan Mei 2017 sampai dengan bulan Juni
2017.
BAB IV
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Peneltian ini dilakukan di Puskesmas
Katapang Kabupaten Bandung memakai data sekunder dengan metode penelitian
pendekatan analitik dan menggunakan desain cross
sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh Wanita Usia Subur yang
pernah melakukan pemeriksaan Infeksi Menular Seksual di Puskesmas Katapang pada
tahun 2016 sebanyak 228 orang. Teknik sampling
yang digunakan adalah total sampling.
Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mencari hubungan karakteristik
wanita usia subur dengan kejadian Infeksi Wanita Subur di Puskesmas Katapang
Kabupaten Bandung Tahun 2016. Setelah dilakukan analisa univariat dan bivariat,
hasil disajikan dalam bentuk seperti di bawah ini.
4.1.1 Analisa Univariat
1.
Variabel
Dependent
Tabel 4.1 Distribusi
frekuensi kejadian Infeksi Menular Seksual pada Wanita Usia Subur di Puskesmas
Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016
IMS
|
F
|
%
|
Ya
|
136
|
59,6
|
Tidak
|
92
|
40,4
|
Total
|
228
|
100
|
Sumber
: Data Sekunder 2016
Berdasarkan tabel 4.1 diatas diketahui bahwa
sebagian besar Wanita Usia Subur terkena Infeksi Menular Seksual sebesar 59,6%.
2.
Variabel
Independent
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi status pernikahan
pada Wanita Usia Subur Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016
Status
Perkawinan
|
f
|
%
|
Menikah
|
138
|
60,5
|
Belum
menikah
|
90
|
39,5
|
Total
|
228
|
100
|
Sumber : Data Sekunder 2016
Berdasarkan
tabel 4.2 diatas diketahui bahwa sebagian besar Wanita Usia Subur sudah menikah
sebesar 60,5%.
Tabel 4.3 Distribusi
frekuensi pendidikan pada Wanita Usia Subur di
Puskesmas
Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016
Pendidikan
|
f
|
%
|
|||
Risiko Tinggi
(Tidak Sekolah, SD, SMP)
|
156
|
68,4
|
|||
Risiko Rendah
(SMA, PT)
|
72
|
31,6
|
|||
Total
|
228
|
100
|
|||
Sumber : Data Sekunder 2016
Berdasarkan tabel 4.3 diatas diketahui bahwa sebagian besar Wanita
Usia Subur berpendidikan risiko tinggi sebesar 68,4%.
Tabel 4.4 Distribusi
frekuensi pekerjaan pada Wanita Usia Subur di Puskesmas Katapang Kabupaten
Bandung Tahun 2016
Pekerjaan
|
f
|
%
|
Bekerja
|
161
|
70,6
|
Tidak
Bekerja
|
67
|
29,4
|
Total
|
228
|
100
|
Sumber : Data Sekunder 2016
Berdasarkan tabel 4.4 diatas diketahui bahwa sebagian besar Wanita
Usia Subur bekerja sebesar 70,6%.
Tabel 4.5 Distribusi
frekuensi Pemakaian kondom Puskesmas
Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016
Kondom
|
F
|
%
|
Pernah
|
36
|
15,8
|
Tidak
pernah
|
192
|
84,2
|
Total
|
228
|
100
|
Sumber : Data Sekunder 2016
Berdasarkan tabel 4.5 diatas diketahui bahwa pada umumnya Wanita Usia
Subur tidak pernah menggunakan kondom sebesar 84,2%.
4.1.2 Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan
untuk mengetahui hubungan antara variabel independent atau karakteristik WUS
dengan variabel dependen atau kejadian IMS dengan menggunakan tingkat kemaknaan
95%. Adanya hubungan antara karakteristik wanita usia subur dengan kejadian
ditunjukan dengan hasil uji statistik chi-square
diperoleh nilai r
< 0,05. Setelah dilakukan pengolahan data, didapatkan hasil seperti yang
tercantum dalam crosstabulation sebagai
berikut.
Tabel 4.6 Hubungan status
perkawinan pada Wanita Usia Subur dengan kejadian Infeksi Menular Seksual di
Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016
Status Perkawinan
|
Kejadian IMS
|
Total
|
r
|
|||||
Ya
|
Tidak
|
|||||||
F
|
%
|
F
|
%
|
f
|
%
|
0,000
|
||
Menikah
|
117
|
84,8
|
21
|
15,2
|
138
|
100,0
|
||
Belum Menikah
|
19
|
21,1
|
71
|
78,9
|
90
|
100,0
|
||
Total
|
136
|
59,6
|
92
|
40,4
|
228
|
100,0
|
||
Sumber : Data
Sekunder 2016
Berdasarkan tabel
4.6 di atas didapatkan hasil terdapat hubungan antara status perkawinan pada
Wanita Usia Subur dengan kejadian Infeksi Menular Seksual, dengan r value = 0,000.
Tabel 4.7 Hubungan pendidikan pada Wanita Usia Subur
dengan kejadian Infeksi Menular Seksual di Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung
Tahun 2016
Pendidikan
|
Kejadian IMS
|
Total
|
r
|
|||||
Ya
|
Tidak
|
|||||||
F
|
%
|
F
|
%
|
f
|
%
|
0,001
|
||
Risiko Tinggi
|
104
|
66,7
|
52
|
33,3
|
156
|
100,0
|
||
Risiko Rendah
|
32
|
44,4
|
40
|
55,6
|
72
|
100,0
|
||
Total
|
136
|
59,6
|
92
|
40,4
|
228
|
100,0
|
||
Sumber
: Data Sekunder 2016
Berdasarkan
tabel 4.6 di atas didapatkan hasil terdapat hubungan antara pendidikan pada
Wanita Usia Subur dengan kejadian Infeksi Menular Seksual, dengan r value = 0,001.
Tabel 4.8 Hubungan pekerjaan
dengan kejadian Infeksi Menular
Seksual di Puskesmas Katapang Kabupaten
Bandung Tahun 2016
Pekerjaan
|
Kejadian IMS
|
Total
|
r
|
|||||
Ya
|
Tidak
|
|||||||
F
|
%
|
F
|
%
|
f
|
%
|
0,000
|
||
Bekerja
|
108
|
67,1
|
53
|
32,9
|
161
|
100,0
|
||
Tidak Bekerja
|
28
|
41,8
|
39
|
58,2
|
67
|
100,0
|
||
Total
|
136
|
59,6
|
92
|
40,4
|
228
|
100,0
|
||
Sumber : Data
Sekunder 2016
Berdasarkan
tabel 4.6 di atas didapatkan hasil terdapat hubungan antara pekerjaan pada
Wanita Usia Subur dengan kejadian Infeksi Menular Seksual, dengan r value = 0,000.
Tabel 4.9 Hubungan pemakaian
kondom pada Wanita Usia Subur
dengan kejadian Infeksi
Menular Seksual di Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016
Pemakaian Kondom
|
Kejadian IMS
|
Total
|
r
|
|||||
Ya
|
Tidak
|
|||||||
f
|
%
|
F
|
%
|
f
|
%
|
0,000
|
||
Pernah
|
32
|
88,9
|
4
|
11,1
|
36
|
100,0
|
||
Tidak Pernah
|
104
|
54,2
|
88
|
45,8
|
192
|
100,0
|
||
Total
|
136
|
59,6
|
92
|
40,4
|
228
|
100,0
|
||
Sumber
: Data Sekunder 2016
Berdasarkan
tabel 4.6 di atas didapatkan hasil terdapat hubungan antara pemakaian kondom
pada Wanita Usia Subur dengan kejadian Infeksi Menular Seksual, dengan r value = 0,000.
4.2 Pembahasan
4.2.1
Kejadian
Infeksi Menular Seksual pada Wanita Usia Subur di Puskesmas Katapang Kabupaten
Bandung Tahun 2016
Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan di Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016 didapatkan bahwa sebagian besar Wanita Usia Subur
terkena Infeksi Menular Seksual sebesar 59,6% dan hampir setengah Wanita Usia
Subur tidak terkena Infeksi Menular Seksual sebesar 40,4%. Didapatkan hasil
dari wawancara 10 WUS yang terkena IMS, sebagian besar responden mengatakan melakukan
hubungan seksual dengan lebih dari satu pasangan, suami bekerja sebagai supir
truk dan riwayat perkawinan lebih dari satu kali.
Menurut
Gayatri (2010) seseorang berisiko tinggi terkena IMS bila melakukan hubungan
seksual dengan berganti-ganti pasangan baik melalui vagina, oral maupun anal.
Bila tidak diobati dengan benar, penyakit ini dapat berakibat serius bagi
kesehatan reproduksi, seperti terjadinya kemandulan, kebutaan pada bayi yang
baru lahir bahkan kematian.
Sesuai
dengan penelitian Mardiana (2015)
seseorang yang berganti-ganti pasangan akan lebih memiliki risiko
terhadap Infeksi Menular Seksual. Bahwa seseorang bisa tertular IMS karena
faktor kebiasaan atau sering berganti-ganti pasangan seksual secara
sembarangan, tidak memakai pelindung (kondom) dan tidak menjaga kebersihan diri
terlebih di daerah kelamin baik perempuan maupun laki-laki.
Menurut
teori Sunaryo (2014) homoseksual adalah ketertarikan melakukan hubungan seks
dengan sesama jenis (pria dengan pria atau wanita dengan wanita) lazim disebut
homoseksual apabila dilakukan antara pria dan pria sedangkan pada wanita
disebut lesbian, cara memperoleh kepuasannya yaitu oral erotisme, anal erotisme
atau interfemoral hubungan seksual (hubungan seksual melalui sela-sela paha),
penyebab homoseksual adalah herediter, lingkungan dan hormona imbalance.
Menurut
hasil penelitian Ratnawati (2012) perilaku oral seks dan anal seks dilakukan
komunitas waria dalam berhubungan seksual sangat berisiko terhadap terjadinya
IMS. Jenis IMS yang menyerang waria antara lain gatal-gatal pada penis, terkena
sifilis dan Herpes.
Menurut teori Lestari (2014) faktor
lingkungan yang berperan dalam penyebaran IMS ialah faktor sosial ekonomi,
kemiskinan di daerah pedesaan sering sering mengakibatkan urbanisasi ke kota besar
dan perkembanganan ekonomi yang lebih cepat mendorong terjadinya promiskuitas,
misalnya penggunaan minuman keras dan pergi ke tempat hiburan malam.
Sesuai dengan penelitian Reviliana
(2011) alasan wanita terjerumus menjadi pekerja seks komersial adalah karena
desakan ekonomi, dimana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun sulitnya
mencari pekerjaan sehingga menjadi pekerja seks komersial merupakan pekerjaan
yang termudah, yang dalam hal ini para pekerja seks komersial sangat rentan
terhadap IMS.
Menurut WHO (2015) salah satu upaya
intervensif efektif di sektor kesehatan untuk mempercepat penurunan kematian
pada Wanita Usia Subur adalah melalui koordinasi pelayanan kesehatan reproduksi
dan manajemen IMS. Informasi, pendidikan, konseling, dan pengobatan IMS,
promosi kondom pada kelompok berisiko (pekerja seks komersial dan
pelanggannya), skrining IMS dan HIV
pada ibu hamil, Voluntary Counseling and
Testing (VCT) IMS dan HIV/AIDS.
Sejalan dengan penelitian Angkasawati
(2016) dari segi keterampilan pelaksanaan kewaspadaan menyeluruh atau universal precaution menunjukan kurang
siapnya petugas puskesmas dalam kegiatan yang berkaitan dengan penanggulangan
IMS.
Program penanggulangan HIV AIDS secara komprehensif
melalui Program Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) HIV dan IMS ini
meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif secara
paripurna, mencakup semua bentuk layanan HIV dan IMS, seperti kegiatan KIE
pengetahuan komprehensif, promosi penggunaan kondom, pengendalian faktor
risiko, layanan Konseling dan Tes HIV (KTS dan KTIP), Perawatan, Dukungan, dan
Pengobatan (PDP), Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA), pengurangan
dampak buruk NAPZA, layanan IMS, pencegahan penularan melalui darah donor dan
produk darah lainnya, serta kegiatan monitoring dan evaluasi serta surveilan
epidemiologi di Puskesmas Rujukan dan Non‐Rujukan termasuk fasilitas kesehatan lainnya dan Rumah
Sakit RujukanKabupaten/Kota (BKKBN, 2010).
Upaya
menurunkan IMS di Katapang adalah program yang diadakan antara lain layanan
rutin IMS di Puskesmas Katapang, dari 228 WUS yang melakukan layanan skrining hanya 97 WUS karena kurangnya
kesadaran WUS untuk deteksi dini,diagnosis secara sindrom/laboratorium,
penyediaan obat IMS, penyuluhan tentang IMS kepada seluruh WUS oleh dokter umum
agar WUS lebih mengetahui tentang pengetahuan IMS, KIE pencegahan IMS WUS oleh
dokter umum agar WUS mengetahui bagaimana cara mencegah IMS, Puskesmas Katapang
memberikan kondom dan menunjukan cara pemakaian yang benar, membuat perjanjian
untuk kunjungan lanjut bagi penderita IMS dan pelaporan program kerja dilakukan
setiap bulan, triwulan dan tahunan ke Dinkes (Puskesmas Katapang, 2016).
4.2.2 Hubungan Status Perkawinan pada Wanita Usia Subur dengan Kejadian
Infeksi Menular Seksual di Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016
Hasil penelitian terdapat
hubungan antara status perkawinan pada Wanita Usia Subur dengan kejadian
Infeksi Menular Seksual, dengan r value = 0,000. Pada umumnya
Wanita Usia Subur yang sudah menikah dan terkena IMS sebesar 84,8%, sedangkan
Wanita Usia Subur yang belum menikah dan terkena IMS sebesar 21,1%.
Hasil penelitian tidak sesuai dengan
teori (Lestari, 2014) bahwa status perkawinan memengaruhi epidemiologi IMS.
Insiden IMS berisiko lebih tinggi pada orang yang belum menikah daripada sudah
menikah. Selain itu, orang bercerai atau terpisah dari keluarga juga berisiko
tinggi.
Sesuai dengan penelitian Muda pada
tahun 2014 di Puskesmas Limba B Kecamatan Selatan Kota Gorontalo diketahui IMS
juga sering terjadi pada seseorang yang sudah kawin, IMS yang telah terjadi
pada perempuan yang sudah kawin disebabkan karena suami yang suka
beroganta-ganti pasangan akibat terjadi kejenuhan dalam rumah tangga sehingga
menyebabkan istri rentan terhadap IMS. sedangkan IMS terjadi pada penderita
laki-laki yang berstatus kawin berjumlah 4 orang dikarenakan seksual terasa
monoton sehingga timbul keinginan jajan diluar.
Kehidupan seksual terasa lebih gersang
sehingga mudah mencapai kebosanan dan aktifitas seksual terasa monoton karena
kurang bervariasi sehingga bisa menyebabkan seseorang suka beroganta-ganti
pasangan (Anonim, 2011).
Upaya yang dilakukan untuk menghindari
IMS dimasa yang akan datang adalah tidak berganti-ganti pasangan dan hindari
seks dengan lebih dari 1 pasangan seksual atau dengan pekerja seks, namun bila tidak terhindarkan lagi,
harus menggunakan kondom (Daili, 2014).
4.2.3
Hubungan
Pendidikan pada Wanita Usia Subur dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual di
Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016
Hasil
penelitian terdapat hubungan antara pendidikan pada Wanita Usia Subur dengan
kejadian Infeksi Menular Seksual, dengan r value
= 0,001. Sebagian besar Wanita Usia Subur
berpendidikan risiko tinggi dan terkena IMS sebesar 66,7%, hampir setengah
Wanita Usia Subur berpendidikan risiko rendah dan terkena IMS sebesar 44,4%.
Faktor
pendidikan sebagai contohnya, 37-40% wanita umur 18-24 tahun dengan pendidikan
tidak tamat SD dan tamat SD telah berhubungan seks 18 tahun dibandingkan 26%
atau lebih rendah pada wanita yang berpendidikan tidak tamat SMA atau lebih
tinggi pendidikannya (Suhendar, 2012).
Menurut penelitian
Nova (2016) menunjukan bahwa antara pendidikan klien dengan penyakit menular
seksual, ternyata dari 41 (80,4%) orang responden yang berpendidikan dasar,
semua responden mengalami penyakit menular seksual dan klien yang berpendidikan
tinggi terdapat 10 (19,6%) orang responden, sebagian besar 8 (15,7%) orang
responden tidak mengalami penyakit menular seksual.
Sejalan
dengan penelitian Revilliana (2011), dengan judul “Beberapa faktor (sosial
ekonomi, pendidikan, status perkawinan). Yang mempengaruhi tingginya kejadian
IMS di Lokalisasi Gang Sadar Baturaden Kabupaten Banyumas 2011” menyatakan
bahwa pendidikan seseorang mempengaruhi akan terjadinya IMS, karena semakin
rendah tingkat pendidikan seseorang maka semakin rendah tingkat pengetahuan
yang mempengaruhi tingkat kesadaran seseorang untuk mengambil suatu keputusan
atau tindakan. Dalam penelitian ini pendidikan akan mempengaruhi daya serap
responden terhadap informasi yang diterima.
Sesuai
dengan penelitian Gani (2011) tingkat pendidikan mempengaruhi responden dalam
mengambil keputusan untuk melakukan hubungan seksual yang aman atau berisiko.
Tingkat pendidikan juga sangat mempengaruhi responden untuk peduli terhadap
penularan IMS dan HIV seperti berperilaku yang tidak berpotensi menularkan dan
ditularkan, berpengaruh juga terhadap pencarian pertolongan maupun stigma
terhadap IMS dan HIV.
Dengan
pendidikan yang cukup tinggi terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau
perubahan ke arah yang lebih baik dan matang pada diri individu, sehingga
responden akan mudah menerima pengaruh dari luar, lebih objektif dan terbuka
terhadap berbagai informasi termasuk informasi kesehatan.
4.2.4
Hubungan
Pekerjaan pada Wanita Usia Subur dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual di
Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016
Hasil
penelitian terdapat hubungan antara pekerjaan pada Wanita Usia Subur dengan
kejadian Infeksi Menular Seksual, dengan r value
= 0,000. Sebagian besar Wanita Usia Subur
yang bekerja dan terkena IMS sebesar 67,1%, hampir setengah Wanita Usia Subur
yang tidak bekerja dan terkena IMS sebesar 41,8%.
Menurut
Siboulet ada 5 golongan yang dilaporkan beresiko terkena IMS yaitu pelajar dan
mahasiswa, supir truk, pegawai hotel, pramuria dan PSK, kelompok usia dibawah
19 tahun dan turis (Lestari, 2014).
Berbeda
dengan penelitian Sarwinanti (2015) pekerjaan responden antara yang bekerja
dengan yang tidak bekerja memiliki hasil yang sama yaitu yang memiliki faktor
risiko IMS ada 5 responden (25%). Faktor pekerjaan ini dapat juga mempengaruhi
kejadian IMS.
Wanita
Pekerja Seks (WPS) dalam kesehariannya bekerja sebagai seorang yang menyediakan
jasa layanan hubungan seksual kepada para lelaki yang membutuhkan jasanya. Atas
jasa yang diberikan ini, seorang WPS memperoleh sejumlah uang yang telah
disepakati antara WPS dan konsumennya. Oleh karena itu, WPS tidak akan terlepas
dari perilaku berganti-ganti pasangan sehingga WPS menjadi kelompok rentan
untuk terkena IMS (Susilawati, 2014).
Sesuai dengan
penelitian Burhan (2011) Kebutuhan yang semakin banyak pada seorang perempuan
memaksa dia untuk mencari sebuah pekerjaan dengan penghasilan yang memuaskan.
Namun terkadang dari beberapa perempuan tersebut harus bekerja sebagai WPS
untuk pemenuhan kebutuhan tersebut. Tuntutan ekonomi yang tidak bisa ditawar
dan ketidaktahuan mengenai gejala-gejala terserang IMS akan tetap membuat
mereka beroperasi terus sambil menularkan penyakit yang dideritanya. Meskipun
demikian upaya memanfaatkan pelayanan screening
di Klinik dengan layanan IMS.
4.2.5 Hubungan Pemakaian Kondom pada Wanita Usia Subur dengan Kejadian
Infeksi Menular Seksual di Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016
Hasil penelitian terdapat hubungan antara pemakaian kondom pada Wanita
Usia Subur dengan kejadian Infeksi Menular Seksual, dengan r value = 0,000. Pada umumnya
Wanita Usia Subur menggunakan kondom dan terkena IMS sebesar 88,9%, sebagian
besar Wanita Usia Subur yang tidak menggunakan kondom dan terkena IMS sebesar
54,2%.
Sesuai
dengan teori Verawaty (2012) kondom memang memberikan perlindungan tapi tidak
menjamin 100% dan jika penggunaannya tidak benar, fungsi perlindungan pada
kondom bisa jadi hilang. Kondom bisa sobek, atau tidak dipakai hingga akhir
aktivitas seksual. Angka kegagalan yang tinggi saat tes laboratorium menunjukan
kondom tidak memberikan perlindungan 100% terhadap AIDS, IMS, kehamilan,
ataupun yang lainnya. Tidak menggunakan kondom yang sama untuk beberapa kali
pemakaian. Saat menggunakannya, berhati-hati dengan kuku yang tajam bisa
merobek kondom.
Menurut
penelitian Sukmawati (2014) beberapa penyebab dari kegagalan menggunakan kondom
yaitu selalu memasang kondom saat penis dalam keadaan ereksi, menggunakan
kondom yang melewati masa kadaluarsa, menggunakan kondom secara berulang,
kegagalan kondom dapat disebabkan oleh kecacatan produksi, kondom robek saat
mulai berhubungan dan kerusakan pada proses pembuatan kondom. Untuk itu
penyuluhan dan pelatihan-pelatihan secara rutin serta dapat memberikan motivasi
yang cukup besar dan kuat kepada wanita pekerja seks untuk memproteksi dirinya
dalam penularan Infeksi Menular Seksual dan selalu dalam perilaku seksual yang
positif. Selain itu juga fasilitas dari lokalisasi yang menyediakan kondom saat
ada konsumen yang akan berkunjung juga sangat mempengaruhi keinginan konsumen
untuk memakai kondom saat berhubungan seksual dan memberikan penyuluhan cara
penggunaan kondom yang tepat.
Memberikan
penyuluhan kepada WUS tentang seks, sebelum terjadi penularan IMS melalui
hubungan seksual, betapa bahayanya jika melakukan hubungan seks bebas seperti
berganti-ganti pasangan seks, melakukan hubungan seks lewat dubur (anal), oral
seks, ada seseorang yang telah terkena IMS, bidan disini memberikan konseling
memberikan informasi yang selengkap-lengkapnya tentang IMS, seseorang yang
terkena IMS dianjurkan untuk tidak berhubungan seks untuk menghindari
tertularnya kepada patner seksnya, jika melakukan hubungan seks sebaiknya
menggunakan kondom, IMS yang masih dapat disembuhkan sebaiknya penderita
dianjurkan untuk melakukan pengobatan rutin, bekerja sama dalam melakukan
rujukan bila pasien terkena IMS, Bidan sebagai role model memberi contoh sikap yang baik
pada masyarakat, memberikan konseling pada masyarakat terutama pasangan suami istri tentang kesehatan reproduksi,
memberikan konseling pada masyarakat tentang penyebab dan akibat IMS, bekerjasama dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama
dalam pelaksanaan penyuluhan pada masyarakat, mewaspadai gejala-gejala dan
mendeteksi dini adanya PMS (Marmi,
2015).
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
1.
Sebagian besar Wanita
Usia Subur di Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016 terkena IMS
2.
Terdapat hubungan
antara status perkawinan pada Wanita Usia Subur dengan kejadian Infeksi Menular
Seksual di Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016
3.
Terdapat hubungan
antara pendidikan pada Wanita Usia Subur dengan kejadian Infeksi Menular
Seksual di Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016
4.
Terdapat hubungan
antara pekerjaan pada Wanita Usia Subur dengan kejadian Infeksi Menular Seksual
di Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016
5.
Terdapat hubungan
antara pemakaian kondom pada Wanita Usia Subur dengan kejadian Infeksi Menular
Seksual di
Puskesmas Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2016.
5.2 Saran
1.
Bagi Institusi
Pendidikan
Diharapkan
penelitian ini dapat bermanfaat bagi institusi pendidikan sebagai tambahan
studi kepustakaan mengenai beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan dan
menjadikan salah satu masukan untuk mendidik dan melatih mahasiswa dalam
masalah pada Infeksi Menular Seksual (IMS) pada Wanita Usia Subur (WUS).
2.
Bagi Lahan Praktik
Diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan tentang karakteristik
wanita usia subur dengan kejadian infeksi menular seksual, dapat digunakan
sebagai gambaran bagi tenaga kesehatan untuk penataklaksanaan yang tepat
terhadap kasus ini dengan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan meningkatkan
kinerja untuk melaksanakan prosedur tetap yang digunakan dalam pengelolaan
kasus Infeksi Menular Seksual (IMS).
Langganan:
Postingan (Atom)